TAFSIR BIL MA'TSUR DAN KEANDALANNYA
Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam
Siregar, M.A.
A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an al-Karim adalah firman Allah swt yang diturunkan melalui. Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammd saw penutup Nabi dan Rasul Allah dengan tujuan untuk dijadikan petunjuk bagi
seluruh umat manusia.[1]
Sebagai petunjuk, maka tujuan
al-Qur’an adalah untuk meluruskan orientasi hidup manusia menuju
kebenaran dan kebagiaan hidup di dunia dan akherat nanti. Atau menurut istilah
Fazlur Rahman, bahwa yang dituju al-Qur'an bukanlah Tuhan tetapi manusia dan tingkah lakunya.[2] Petunjuk al-qur'an penuh pesona
kemu'jizatan yang telah terbukti keagungannya.
Para penentang dan pembangkangnya
yang mengandalkan kemampuan fasohah dan ketingggian nilai sastra yang
mereka miliki, satu demi satu tunduk di hadapan kemu'jizatan dan keagungan nilai-nilai balaghah dan fasohah
al-Qur'an. Sebab al-Qur'an sendiri lebih unggul dan tidak ada sesuatu yang
dapat menandinginya karena al-Qur'an
bukanlah ciptaan manusia.[3] Lebih
jauh Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa maksud utama al-Qur'an sebagai
pembangkit kesadaran tertinggi manusia akan hubungan gandanya dengan Allah dan
alam semesta ini.[4] Lahirnya
ulum al-Qur'an merupakan bagian usaha dari pengkaji muslim terhadap
al-qur'an. Ulum al-Qur'an dikonotasikan sebagai pokok bahasan yang berkaitan dengan al-Qur'an dari aspek-aspek asbab
al nuzul, tertib surat dan ayat,
pentadwinan dan penulisannya, cara membaca dan menafsirkannya, daya kemu'jizatannya,
nasikh mansukhnya, bantahan terhadap berbagai kritik
yang dialamatkan kepadanya, dan hal-hal
lain, yang sebenamya telah ada semenjak masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Oleh karena kebutuhan yang
belum mendesak, aspek-aspek bahasan tersebut belum disusun secara sistimatis dalam karya tulis, melainkan baru dalam bentuk periwayatan. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah berbagai
aspek pembahasan ulum al-Qur'an dalam bentuk karya tulis yang sistimatis.
Seperti asbab al nuzul, Makkiy dan Madaniy, Metode-metode Tafsir. Salah
satu di antara metode tafsir ialah tafsir bil ma'tsur atau tafsir bi al-riwayat. Metode tafsir ini penting artinya karena berkaitan dengan penjelasan Allah terhadap kitabnya, posisi dan
kedudukan Rasulullah sebagai penafsir alQur'an, dan kedudukan para
sahabat dan tabi'in berkaitan dengan penjelasan mereka terhadap al-Qur'an. Cara
kerja tafsir bil ma'tsur, apa yang dikemukakan oleh Nabi saw, sahabat atau tabi'in dijadikan dasar oleh si mufassir dalam
mengungkap maksud dan peran al-qur'an. Konsekwensinya
penjelajahan nalar mufassir untuk mencari makna atau pesan lain yang
berbeda dengan penjelasan terutama penjelasan
sahabat dan tabi'in kurang leluasa, karena si mufassir sangat tergantung kepada riwayat, bahkan selama ada
riwayat si mufassir cenderung tidak
mencari penjelasan lain. Sementara itu tidak sedikit riwayat-riwayat tersebut lemah, bahkan diselipi dengan
kisah-kisah israiliyat. Maka tulisan ini berusaha menjawab hakekat tafsir
bil ma'tsur, muatan dan kedudukan
nalar mencari tafsir dalam tafsir bil ma'tsur dan hal-hal lain yang dianggap memperjelas. Dan jawaban akan tersebut
diperoleh gambaran bahwa suatu hasil
penafsiran bukanlah semuanya merupakan "kata putus" yang harus
diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu seseorang dalam memahami
pesan-pesan al-Qur'an. Yang jelas kuranglah bijaksana kalau seseorang menerima begitu saja atau mengkritik begitu saja
tanpa menelusuri metode tafsir apa
yang digunakan oleh si mufassir dalam tafsirnya.
B. HAKEKAT TAFSIR BIL MA'TSUR
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti
penjelasan atau keterangan.[5] Sedang al-ma'tsur berasal dari akar
kata atsara yang berarti mengutip.[6]
Sedangkan menurut pengertian terminologi
tafsir bil ma'tsur ialah sebagai rangkaian keterangan yang terdapat
dalam al-Qur'an, sunah atau kata-kata
sahabat sebagai penjelasan terhadap firmanAllah.[7]
Faudah
menjelaskan bahwa tafsir bil ma'tsur meliputi tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw,
tafsir dengan nukilan dari para sahabat dan tafsir dengan nukilan para tabi'in.[8] Sementara al-Zahabi dan as-Sayuti mengatakan
bahwa tafsir bil ma'tsur adalah penjelasan dan perincian al-Qur'an sendiri terhadap sebagian ayat-ayatNya,
penafsiran yang dilakukan Rasulullah saw, para
sahabat dan tabi'in yang berupa penjelasan terhadap firman Allah swt dalam al-Qur'an.[9]
Dari gambaran di atas memberi kesan bahwa ada
perbedaan pendapat mengenai, apakah tafsir
tabi'in terhadap al-Qur'an termasuk dari tafsir bil ma'tsur. Pertama bahwa hal itu termasuk tafsir bil
ma'tsur. Kedua, mengatakan bahwa komentar tabi'in
tersebut merupakan ta'wil dan ijtihad. Bagi pendapat pertama, memberi alasan bahwa para tabi'in pernah
bertemu dengan sahabat dan dalam kitab-kitab
tafsir tabi'in yang awal ternyata pada umumnya para tabi'in juga hanya mengutip ucapan sahabat saja.
Dalam hal ini Muhammad Abu Syuhbah mengatakan,
jika para tabi'in itu bermufakat mengenai suatu masalah, maka pendapat mereka itu bisa dijadikan
hujjah, sekalipun pendapat mereka itu hanya
bersumber dari pendapat para sahabat saja. Adapun jika mereka berselisih pendapat, maka pendapat sebagian
dari mereka tidak dapat diterima sebagai hujjah,
baik terhadap kalangan mereka sendiri (tabi'in) maupun terhadap generasi sesudahnya.[10]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir bil ma'tsur
dapat dilelompokkan menjadi
empat, yaitu: (1) tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an (2) tafsir al-Qur'an dengan as-Sunah (3) tafsir
al-Qur'an dengan riwayat sahabat (4) tafsir al-Qur'an
dengan riwayat tabi'in.
Pertama: Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an.
Sebagaimana
diketahui bahwa al-Qur'an itu, sebagian ayatnya merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya
Allah saja yang Maha Mengetahui apa
yang dikehendaki dengan firmanNya.[11] Di antara contoh-contohnya sebagai berikut:
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat
lagi Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Kata "'Kalimaatun" (beberapa
kalimat) tersebut dijelaskan oleh ayat yang lain di surat yang lain, yaitu:
"Adam dan Hawa
berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami. Dan kalau Engaku tidak
mengampuni kami dan tidak memberikan kasih sayang kepada kami, pasti
kami akan menjadi orangorang merugi”. (Al-A’raf
[7]:23)
Demikian juga QS Al-Maidah (5): 1:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa 'alaikum dijelaskan oleh Allah
dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang disembelih atas
nama selain Allah... Demkian juga FirmanNya:
"Tunjukkanlah kami
pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat, bukan jalan orang-orang
yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat" (QS Al-Fatihah
[1]: 6-7). Kalimat "orang-orang yang Engkau karuniai nikmat" pada ayat di atas, dijelaskan
oleh Allah dalam firmanNya:
"Dan barang siapa yang taat
kepada Allah dan RasulNya maka mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmt dart
Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu
membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah
sebaik-baik teman/sahabat" (QS An-Nisa: 69).
Demikian juga FirmanNya:
"sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan" (QS Ad-Dukhan [44]: 3).
Kata "malam yang
diberkahi" dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
"Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya (al-Qur'an) pada kemuliaan (Qadar)" (QS Al-Qadr [97]: 1)
Kedua: tafsir al-Qur'an dengan as-Sunah.
Dalam hal ini as-Sunah menjelaskan al-Qur'an jika
dalam al-Qur'an itu sendiri tidak terdapat
penjelasan karena kedudukan/fungsi as-Sunah sebagai penjelas terhadap al-Qur'an.[12] Hal tersebut sesuai dengan
firmanNya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl (16): 44).
Di antara contoh as-Sunah
menjelaskan al-Qur'an adalah:
(a)
Firman Allah dalam QS.
Al-An’am (6): 82:
"orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kata "al-zulm”
dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian "al-syirk" (kemusyrikan).
(b) Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 238:
Peliharalah
segala shalat dan shalat wustha" (QS Al-Baqarah [2]:238). ”Shalat wustha” dijelaskan oleh Nabi dengan ”shalat Asar”.
(c) Firman Allah:
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat. (QS
Al-Fatihah:7). Kata "al-Magdlubi `alaihim dan al-Dhaalliin" ditafsirkan
oleh Nabi dengan orang-orangYahudi dan Nasrani.
(d) Firman Allah QS. Al-Anfaal [8]:60:
”dan siapkan
untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Kata
”Maastatha’tum” ditafsirkan oleh Nabi SAW dengan ”alramyu yaitu anak panah.
e). Firman
Allah dalam QS. Ghafir (40): 60:
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan
hina dina".
Rasulullah menafsirkan kata ”ibadah” dalam ayat tersebut dengan ”al-du’aa”.
Ketiga: Tafsir al-Qur'an dengan riwayat sahabat.
Apabila tidak
ditemukan penafsiran dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah, maka hendaklak kita kembali kepada keterangan sahabat terkemuka yang
saheh, karena merekalah yang pernah bersama Nabi, bergaul dengan beliau dan menghayati
petunjuk-petunjuknya.[13]
Para sahabat yang terkenal sebagai mufassir ada 10 orang, yaitu empat
Khulafa al-Rasyidin ditambah dengan Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-`Asy'ari
dan Abdullah bin Zubair. Namun demikian Khulafa al-Rasyidin hanya sedikit yang
mewartakan asar (penjelasan sahabat) kecuali Ali bin Abu Thalib. Dan pada saat
ketiga khalifah pertama masih hidup, ketika
itu masih banyak sahabat yang ahli dalam kitabullah.[14]
Di antara contoh mengenai penafsiran sahabat
terhadap al-Qur'an ialah diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dan Ibnu AN Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan QS.
Al-Nisaa’(4) : 2:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar."
Kata " HUB " ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar.[15] Juga penjelasan Ibnu Abbas mengenai firman Allah QS. Al-Fatihah:7:
yaitu
ketaatanmu, ibadatmu di antara para malaikat, para Nabi, para siddiqiin,
syuhada dan orang-orang saleh.[16]
Kempat: Tafsir al-Qur'an dengan penjelasan tabi'in.
Sebagai bahan rujukan dalam dalam
penulisan al-Qur'an, penjelasan tabi'in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan al-Qur'an. Sekalipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat
penafsiran dari Nabi, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat.
Sebagai contoh penafsiran Mujahid bin Jabbar
tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran.
Mujahid sering menemui Ibnu Abbas
dalam memperoleh keterangan.[17]
C. NILAI
KEANDALAN TAFSIR BIL MA'TSUR
Dalam tafsir bil ma'tsur banyak menghadapi kritik keras karena banyak riwayat hadis saheh bercampur dengan riwayat-riwayat
hadis yang tidak saheh. Selain itu, juga karena kegiatan yang tidak asing lagi
dart orang-orang Zindiq dari kaum Yahudi dan
Persia yang berusaha menghancurkan agama Islam dan mengacaukan ajaran-ajarannya. Lagi pula dengan
pengaruh tokoh berbagai macam mazhab dan
golongan yang mempunyai kegemaran aneh yaitu menafsirkan al-Qur'an dan menceritakan asbab al-nuzul
menurut sesuka halinya. Karena itu
penafsiran berdasarkan riwayat hadis dituntut kecermatan dalam mengungkapkan sesuatu, keketatan dalam
menyaring berbagai niwayat hadis dan kehali-halian
serta ketelitian dalam mengetengahkan isnadnya.[18]
Penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an merupakan cara yang terbaik.[19] Menurut as-Sabuni penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an termasuk jenis tafsir yang paling luhur dan tidak ragu lagi untuk
diterima. Karena Allah swt lebih
mengetahui maksudnya dari pada yang lainnya. Kitab Allah adalah yang paling
benar, tidak terdapat pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, dari
awal sampai akhimya.[20]
Dengan demikian nilai dan keandalan tafsir
al-Qur'an dengan al-Qur'an adalah
yang paling baik dan tinggi. Implikasinya, si mufassir semestinya dalam proses
kerja menafsirkan memahami munasabah satu ayat dengan ayat lainnya.
Penafsiran al-Qur'an dengan as-Sunah menempati urutan kedua setelah penafsiran al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Karena itu
harus kita terima, dan petunjuk yang
paling baik adalah petunjuk yang dibawa oleh Rasululllah. Beliau tidak
menafsirkan makna ayat-ayat al-Qur'an mengikuti fikirannya sendiri, tetapi
menurut wahyu Ilahi.[21] Penjelasan Nabi dengan sanad yang
pasti, soheh, maka tidak ada
keraguan padanya bahwa hal itu benar dan wajib berpegang padanya.[22]
Di samping itu, Nabi saw adalah berfungsi
menerangkan dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an kepada umat manusia. (QS
An-Nahl:44).
Selama apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw tentang penjelasan alQur'an itu pasti sanad dan matannya soheh, maka hal
itu harus menjadi pedoman dalam
menafsirkan ayat, dan nilainya tinggi. Dalam hal ini si mufassir harus betul-betul bersikap hali-hali dan cermat menyaring riwayat-riwayat yang dikatakan datangnya Nabi.
Mengenai penafsiran al-Qur'an dengan riwayat sahabat adalah salah satu jalan untuk memahami makna ayat-ayat al-Qur'an
sebab mereka menyaksikan dan selalu
bersama Nabi saw. Dalam hal ini al-Hakim mengatakan, jika saheh dinilai marfu’, karena mereka menyaksikan turunnya
wahyu, memahami hal-hal yang melatar belakangi wahyu, jiwa mereka bersih sehingga memungkinkan
mereka memahami al-Qur'an secara benar.[23] Di samping itu karena para sahabat itu
pernah berkumpul dengan Nabi saw, mereka mengambil sumbernya yang asli, menyaksikan turunnya wahyu dan turunnya al-Qur'an,
mengetahui asbab al nuzul, watak mereka murni, fitrah yang lurus, berkedudukan tinggi dalam kefasihan dan kejelasan
bicara. Mereka lebih memiliki kemampuan dalam memahami kalam Allah. Dan hal
lain yang ada pada mereka tentang
rahasia-rahasia al-Qur'an sudah tentu akan melebihi orang lain yang manapun juga.[24] Ibnu Salah mengatakan bahwa apabila
penafsiran sahabat itu mengenai
asbab al nuzul dan menafsirkannya tidak memakai ra'yu (akal) maka dinilai
marfu'[25], artinya bahwa tafsir tersebut mempunyai
kedudukan sebagaimana kedudukan
hadis Nabi yang silsilahnya sampai kepada Nabi saw. Selanjutnya Ibnu Salah
melanjutkan bahwa apabila penafsiran itu tidak mengenai asbab al-nuzul dan memakai ra'yu, maka dinilai mauquf dan
tidak wajib diambil karena para sahabat adalah mujtahid yang bisa benar
dan mungkin salah.[26]
Dari berbagai pendapat tersebut dapat digambarkan
bahwa penafsiran sahabat dapat
dinilai benar dan dipegangi apabila hal itu betul-betul bersumber dari sahabat. Ibnu Taimiyah berkomentar
hendaklah diketahui bahwa Nabi saw menerangkan kepada para
sahabat tentang makna-makna al-Qur'an
sebagaimana dia menerangkan lafaz-lafaznya.
Karenanya firman Allah: ... Litubayyina Linnaasi Maa Nazala Ilaihim
(QS.an-Nahal: 44) adalah mencakup dua hal ini.[27] Penjelasan sahabat terhadap ayat
al-Qur'an nilainya adalah tinggi dan dapat dijadikan pegangan
dalam menafsirkan al-Qur'an, apabila isnad
soheh. Dan penjalasan sahabt tersebut tidak hanya terbatas pada masalah
asbab al nuzul saja.
Mengenai tafsir al-Qur'an dengan riwayat tabi'in, para ulama berbeda pendapat mengenai penilaian terhadap riwayat tabi'in dalam menafsirkan alQur'an. Namun sebagai bahan rujukan penafsiran
mereka tetap diperhitungkan, terutama
kalau tidak ditemukan tafsir suatu ayat dalam al-Qur'an, tidak pula dalam sunah maupun riwayat sahabat. Sebagian
ulama memandang bahwa ucapan tabi'in
termasuk tafsir bit ma'tsur dan sebagian lagi memandangnya tafsir bir ra'yi dan ijtihad.[28] Dikatakan tafsir bit ma'tsur karena penafsiran
tabi'in bersumber dai (1) ayat-ayat al-Qur'an yang
menjadi penafsir bagi ayat-ayat lain yang bersifat global, (2) apa yang didengar dan diriwayatkan oleh
para tabi'in bersumber dari para sahabat, dan
sahabat mengambilnya dari Nabi saw, (3) tafsir al-Qur'an yang diriwayatkan oleh para tabi'in, adalah diambil dari para
sahabat, (4) hasil-hasil perenungan dan
pemikiran mereka atas Kitabullah sebagaimana yang telah diungkapkan Allah kepada mereka.[29] Mengenai tafsir tabi'in terhadap
al-Qur'an, Ibnu Taimiyah memberikan komentar setelah mengutip pendapat Syu'bah bin al-Hajjaj yaitu pendapat-pendapat tabi'in yang berkaitan dengan
masalah-masalah furu' tidak dapat dijadikan Hujjah, karena
hal itu merupakan buah pikiran mufassir mengenai masalah yang diperselisihkan. Kalau para tabi'in
itu bermufakat tentang suatu masalah, maka pendapat mereka dapat dijadikan
hujjah, sekalipun pendapat mereka hanya
bersumber dari pendapat para sahabat saja. Namun jika mereka berselisih pendapat, maka pendapat sebagian
mereka tidak dapat diterima sebagai
hujjah, baik terhadap kalangan mereka sendiri maupun generasi selanjutnya.[30] Bagaimanapun juga kita
harus mengakui bahwa dalam penafsiran al-Qur'an dengan ma’tsur dari sahabat atau tabi’in mempunyai
kelemahan-kelemahan. Dalam hal ini as-Sabuni menjelaskan setelah mengutip
pendapat az-Zarqani bahwa kelemahan-kelemahan
tafsir al-Qur'an dengan ma’tsur dari sahabat dari tabi’in yaitu karena berbagai
segi:
- Campur baur antara yang saheh dan tidak saheh, serta
banyak mengutip kata-kata yang dinisbatkan kepada sahabt atau tabi'in
dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan,
yang akan menimbulkan pencampuran antara yang hak dan
yang batil.
- Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh
cerita-cerita israiliyat dan khurafat
yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah. Dan telah ada dalil yang menyatakan kesalahan
cerita-cerita tersebut, hal ini dibawa
ke dalam kalangan umat Islam dari kelompok Islam yang dahulunya
ahli kitab.
- Di kalangan sahabat, ada golongan yang ekstrim. Mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan-kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Misalnya kelompok Syiah
yaitu yang fanatik kepada Ali,
mereka sering mengatakan Ali dan Ali sendiri tidak ada urusan apa-apa. Contoh lain,
golongan pendukung Abbasiyah mereka
mengemukakan kata Ibnu Abbas, padahal tidak benar Ibnu Abbas mengatakan demikian. Mereka berbuat itu karena untuk
basa-basi dihadapan para
penguasa.
- Musuh-musuh Islam dari orang-orang Zindiq ada yang menyisipkan sahabat dan tabi'in sebagaimana
mereka menyisipkan atas Nabi saw perihal sabdanya. Hal ini dimaksudkan untuk
menghancurkan agama dengan jalan manghasut dan membuat-buat hadis. Dalam hal ini perlu kita waspadai.[31]
Menanggapi hal-hal di atas, oleh
az-Zarqani mengatakan setelah mengutip dari Imam Ahmad r.a. dan lbnu Taimiyah yaitu bahwa pendapat yang paling
adil dalam hal ini ialah bahwa tafsir bit ma'tsur itu ada dua macam; (1) tafsir
yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan saheh dan
diterima. Tafsir yang demikian tidak layak untuk ditolak oleh siapapun,
tidaklah dibenarkan untuk mengabaikan dan melupakannya. Tidak benar kalau
dikatakan bahwa tafsir yang demikian itu tidak bisa
dipakai untuk memahami al-Qur'an bahkan kebalikannya, bahwa tafsir tersebut adalah sarana yang kuat untuk
mengambil petunjuk dari al-Qur'an, (2) tafsir yang dalil atau sumbernya
tidak saheh karena beberapa faktor di atas
atau sebab lain. Tafsir yang demikian harus ditolak dan tidak boleh diterima serta tidak layak untuk
dipelajari. Kebanyakan ahli tafsir yang
waspada seperti Ibnu Kasir selalu meneliti sampai di mana kebenarannya yang
mereka kutip dan kemudian membuangnya yang tidak benar atau dha'if.[32]
Dengan demikian tafsir ma'tsur dari sahabat atau tabi'in nilainya tinggi
apabila sumbernya saheh dan tidak diperselisihkan atau
tidak bertentangan satu pendapat dengan pendapat yang lainya.
Implikasinya, tafsir ma'tsur yang memenuhi kriteria tersebut
haruslah ditenma dan tidak perlu ditolak. Namun kalau tafsir ma'tsur dari sahabat atau terutama tabi'in itu kurang saheh maka
nilainya rendah dan sebagai
konsekwensinya tidak bisa dipakai atau minimal sebagai pembantu dalam membuka makna al-Quran.
D. MUATAN NALAR
Dalam pembahasan terdahulu bahwa banyak faktor kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tafsir bil ma'tsur. Tentu hal ini membuka peluang
bagi memberikan nilai diterima atau ditolaknya
suatu riwayat. Kevalidan dan realibilitas mufassir dalam proses kerja tersebut
tentu tidak terlepas dari pengaruh internal dan eksternal yang dimiliki oleh
mufassir. Internal dapat berupa kualitas keilmuan dalam berbagai bidang
terutama ilmu Takhrij al-Hadis, cara berfikir yang ditempuh atau
lainnya. Sedangkan eksternal berhubungan dengan lingkungan di mana si mufassir
berada, budaya dan lainlain. Maka akan memberi
peluang bagi mufassir memperbesar muatan nalar dalam penafsirannya. Di samping itu perlu ditekankan bahwa kitab suci al-Qur'an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia (QS Al-Bagarah [2]:2I
). Sebagi petunjuk, pedoman, rahmat, pengobat, tentu tidak hana berlaku
periode tertentu saja tetapi untuk
sepanjang masa. Sementara itu suruhan untuk berfikir, menelaah dan memahami kandungan al-Qur'an (QS
Shad:29) selalu dituntut.
Ditambah lagi perbedaan masa, budaya, tempat dan lingkungan akan mengharuskan mufassir menjelaskan ayat al-Qur'an dengan nuansa baru sekalipun tidak
mengurangi substansi tafsir ma'tsur itu sendiri. Berbagai faktor tersebutlah yang memperbesar muatan nalar dalam
tafsir bil ma'tsur. Namun sekalipun
demikian, muatan nalar dalam tafsir ini lebih sedikit dibandingkan dengan tafsir bi al-ra'yi seperti tafsir maudhu'i.
Berkaitan dengan pembahasan pengaruh
nalar atau muatan nalar dalam tafsir bil ma'tsur ini, az-Zahabi menyatakan
bahwa seorang mufassir yang mengetahui kemampuan seseorang dan dapat
menganalisis sebuah sanad serta
mengetahui sebab-sebab kelemaham
dalam satu riwayat, tafsirnya akan diwarnai oleh cara berfikir dari yang bersangkutan, sehingga dalam menafsirkan ayat
al-Qur'an dapat dilakukannya dengan
baik, bersih dari kelemahan maupun kesalahan. Sedangkan seseorang yang tidak menguasai
sebab-sebab kelemahan periwayatan dan juga tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan analisis terhadap orang
lain dan riwayat-riwayatnya, maka seperti orang dalam kegelapan malam, yang mengumpulkan semua apa yang
ditemukannya tanpa membedakan yang
salah dari yang benar.[33]
Dari uraian di atas memberi simpulan
kepada kita bahwa kualitas keilmuan mufassir, tuntunan al-Qur'an agar manusia selalu berfikir, menelaah serta memahami kandungan al-Qur'an, al-Qur'an harus
menjadi petunjuk, pedoman, rahmat dan pengobat
sepanjang masa, perbedaan waktu, tempat dan budaya, kelemahan yang terdapat dalam tafsir bil ma'tsur
sendiri dan lain-lain. Itu semua akan memberi
muatan nalar tang lebih besar dalam proses kerja tafsir bil ma'tsur. Sebagai implikasinya dalam tafsir bil
ma'tsur apabila seseorang menafsirkan ayat dengan
mengutip hadis Nabi atau ma'tsur sahabat dan tabi'in, maka mufassir tadi paling tidak dapat memberi nuansa
dan wawasan baru yang lebih luas dari ma'tsur
tersebut sekalipun tidak boleh melewati batas substansi apa yang tertera dalam
penafsiran ma'tsur.
E. KARYA-KARYA TAFSIR BIL MA'TSUR
Banyak karya tafsir dengan mamakai metode tafsir bil ma'tsur. Namun yang termashur menurut as-Sabuni ada delapan macam.[34] Sedangkan menurut Manna al-Qattan ada 14 macam.[35]
Terlepas dari perbedaan jumlah karya tafsir bil
ma'tsur yang terkenal antara as-Sabuni dan Manna al-Qattan, secara keseluruhan
karya-karya itu adalah sebagai berikut:
- Muhammad Ibnu Jarir at-Tabary, Jami' al-Bayan `an Ta'wil al-Qur'an.
- Nasr bin Muhammad as-Samarqandy, Bahr al-'Ulum.
- Ahmad bin Ibrahim al-Sa'laby
al-Naisabuty, al-Kasy wa al-Bayan.
- al-Husain bin Mas'ud al-Baghwy,
Ma'alim al-Tanzil.
- Abdul Haq bin Galib al-Andalusy, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al
- Kitab al-`Aziz.
- Ismail bin Umar al-Damasqy, Tafsir al-Qur'an al-`Adhim.
- Abdur
Rahman bin Muhammad al-Sa'laby, al-Jawahir fi Tafsir alQur' an.
- Jalaluddin
as-Suyuti, al-Dur al-Mansur fi al-Tafsir
bil Ma'tsur.
- Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. 10. Tafsir Ibnu 'Uyinah.
- Tafsir Ibnu Abi Halim.
- Tafsir Abi al-Syekh Ibnu
Hibban.
- Tafsir Ibnu `Atiyah.
- Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyf wa al-Bayan `an Tafsir al-Qur'an.
- Tafsir Ibnu Abi Syaibah.
- 16. Tafsir al-Syaukany, Path al
-Qadir.[36]
Namun menurut Subh Salih, tafsir
yang terbaik yang memakai metode tafsir bil ma'tsur ialah Tafsir Ibnu Jarir at-Tabary. Diantara
keistimewaannya ialah dalam mengetengahkan
penafsiran para sahabat Nabi dan tabi'in selalu disertai dengan isnad dan diperbandingkan untuk memperoleh
penafsiran yang paling kuat dan tepat. Kecuali
itu juga terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-bentuk i'rab yang
menambah kejelasan makna. Tapi karena
bersandar pada pengetahuan orang lain dalam hal isnad, maka kadang-kadang tanpa disengaja ia melupakan sebagiannya dan mengemukakan sebagian lain yang
tidak benar tanpa memberi keterangan. Tafsir lainnya yang agak mendekati tafsir at-Tabary, bahkan dalam beberapa hal mungkin lebih balk, ialah tafsir Ibnu Kasir
(Ismail bin Umar al-Damasqy). Diantara keistimewaannya ialah cermat dalam
mengetengahkan isnad, susunan kalimatnya
sederhana dan menunjukkan pemikiran dengan jelas. Cara Ibnu Kasir ini diikuti oleh as-Sayuty (w. 911 H). la
bersandar pada riwayat hadis saheh
yang diwarisinya sebagai pusaka, dan itulah yang membuat tafsirnya lebih dekat kepada pemikiran Islam ketimbang
uraian-uraian yang berdasarkan
pendapat.[37]
F. RINGKASAN
Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir
bil ma'tsur pada hakekatnya merupakan tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an
sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi'in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir
terutama yang memaki metode tafsir bil
ma'tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir terutama tafsir al-Qur'an dengan
al-Qur'an dan tafsir al-Qur'an dengan Sunah. Ma'tsur dari Nabi, atau
sahabat, atau tabi'in haruslah diteliti dan
dicermati secara ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang
kuat atau israiliyat dalam menafsirkan al-Qur'an.
Sekalipun tafsir bil matsur pada
hakekatnya adalah tafsir dengan naq muatan nalar tetap ada dan tidak bisa dihindari. Karena dalam proses kerja
dengan menggunakan tafsir ini tetap saja tidak terlepas dari kualitas si
mufassir, faktor-faktor
kelemahan yang ada dalam tafsir bit ma'tsur, perkembangan zaman, perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan
budaya dan lain-lain. Itu semua
memberi peluang besar pengaruh nalar dalam tafsir bil ma'tsur, atau paling tidak muatan nalar memberi wawasan yang
lebih luas dan variasi nuansa sekalipun
tidak menggerogoti substansi tafsir bil ma'tsur itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Sejarah Al-Qur'an, Cet. III, Sinar Pujangga, Jakarta, 1952. Ahmad Warson Munawir, Kumus al-Mamawwir, Yogyakarta, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AI- Qur'an, Jakarta, 1970.
Dzahabi al, Muhammad Husein, al-Tafsir wal Mufarssiruun, Dar al-Kutub alHaditsah, Kairo, 1978.
Faudah, Muhammad Basuni, al-Tafsir wa Manajihuhu, M. Muchtar Zoerni dan Abd. Qadir Hamir
(penterjemah), Pustaka, Bandung, 1987.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, Mahyuddin dan Anwar Haryono (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1983.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, Dar al-Qur'an al-Azim, Kuwait, 1971.
lqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Religious
"Thought in Islam, Javis Igbal &
Sir Muhaamad Asraf, Lahore, 1962.
Manna' al-Qathan, Mahabits fi Uluum al-Qur'an, Huquq al-Taba' Mahfudzah, Riyad, tt.
Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur'an wa
'Ijazuhu al-Ummiyin, Dar al-Fikri, Kairo, tt.
Sayuti, Jalaluddin Abdurrahman, al-Dur
al-Mansur fi al-'Tafsiir al-Mansur, Dar al-Fikr,
Beirut, 1983.
Sayuti, Jalaluddin Abdurrahman, al-ltqan
fi Uluum al-Qur'an, Dar
al-Fikr, Beirut, Jilid II, 1951.
Shabuni al, Muhammad 'All, al-Thibyaan fi Uluum al-Qur'an, Beirut, 1985.
Shabuni al, Muhammad
All, Mukhtasar Tafsir Ibnu
Katsir, cet. 2, Dar alQur'an al-Karim, Beirut, tt.
Subh al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, Dar al-`Ilm lil Malayin,
Beirut, 1977.
Syirbasy, Ahmad, Sejarah Al-Qur'an, Pustaka Firdaus, (penterjemah), Jakarta, 1985
Zarqani al, Muhamad Abdul `Azim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an, Isa al-Bab al-Halabi.
Zarkasyy, al-Badruddin, Muhammad bin Abdullah, al-Burhan fi Ulum alQur'an, al-Bab al-Halabi, Kairo, 1957.
[2] Fazlur Rahman, Tema
Pokok AI-Our'an, Mahyuddin dan Anwar
Haryono (penterjemah), Pustaka,
Bandung, 1983, hai 4.
[4]lqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of
Religious "Thought in Islam, Javis Igbal & Sir Muhaamad Asraf, Lahore, 1962, hal. 165.
[7]Zarqani al, Muhamad
Abdul 'Azim, Manahil al-Irfaan fi Uluum al-Our an, Isa al-Bab alHalabi, tt., hal.63, Sabuni al,
Muhammad `Ali, al-Tibyan fi 'Ulum al-Our'an, Beirut, 1985, hal.63.
[8] Faudah, Muhammad Basuni, al-Tafsir wa Manajihuhu, M. Muchtar Zoerni dan Abd. Qadir Hamir (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1987,
hal.24.
[9] Dzahabi al, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Dar
al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1978, hal.152,
As-Sayuti, tt, hal. 6.
[10]Faudah, Muhammad Basuni, Op.cil,
hal.42.
[11] Syirbasy, Ahmad, Op.cit., hal. 63.
[12]Zarkasyy,
al-Badruddin, Muhammad bin Abdullah, al-Burhan fi Uluum al-Qur'an, al-Bab al-Halabi,
Kairo, 1957, hal. 176.
[13] Ibid.
[14] Ahabuni al, Muhammad Ali, Op.cit., hal. 72, Shubh al-Shalih,
Op.cit., hal. 289.
[15] Sayuti, Jalaluddin Abdurrahman, al-Dur al Mansur.fi al-Tafsir al-Mansur, Dar alFikr, Beirut, 1983,
hal. 167.
[28] Faudah, Muhammad Basuni, Op.cit.,
hal.35-36.
[29] Ibid., hal. 48.
[37] Shubh al-Shalih, Op.cit., hal. 291.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya :) no SARA!