METODE TAFSIR MAUDHU'I / TEMATIK
Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
1. PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang ini sukar sekali rasanya bagi
seorang peneliti masalahrnasalah Ialam dan Alqur'an untuk bersandar hanya pada
kitab-kitab klasik dalam
upayanya menemukan penafsirsn suatu ayat yang diinginkan atau menganalisa segi sastra dari setiap bagian dari Alquran. Hal ini
mengingat adanya banyak riwayat dan
pendapat dalam kitab-kitab sebelumnya yang saling bertentangan, meskipun hanya mengenai tafsir sebuah ayat. Perbedaan pendapat tidak dapat dihindari dalam
kehidupan berpikir manusia, karena perbedaan
metode yang digunakan, latar belakang kehidupan dan pendidikan atau karena perbedaan intensitas dan
ekstensitas wawasan mufassir. Namum
dapat kita prediksi betapa hal-hal yang kontradiktif dan perbedaan pendapat tadi
merupakan sumber penyakit dan merupakan
pangkal kehancuran bagi umat Ialam.
Oleh karena itu, kita perlu memiliki atau memilih metode penafsiran yang dapat
dipandang memuaskan, tanpa memastikan bahwa hasil penafsiran itu adalah benar-benar sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh Allah swt.
Dari hasil penafsiran Alquran
bukanlah semuanya merupakan "kata putus" yang harus diterima, tetapi sebagai
perangkat yang membantu seseorang
dalam memahami maksud suatu ayat Alquran. Yang jelas
untuk mengambil hasil penafsiran seorang mufassir tidaklah bijaksana kalau diterima begitu saja atau disalahkan/dikritik begitu saja, tanpa
mengetahui dan meneliti metode tafsir
yang digunakan oleh mufassir. Pada akhir-akhir ini muncul berbagai metode
tafsir ke permukaan yang pada hakekatnya
semua metode tersebut sebagai upaya mengungkap maksud-maksud Alquran dalam menjawab permasalahan umat.
Salah satu metode tafsir yang paling
populer akhir-akhir ini ialah metode tafsir maudhu'i (tematik). Dengan penggunaan metode ini diharapkan dapat merupakan
sebuah jawaban Alquran terhadap
berbagai masalah yang timbul atau paling tidak menambah perbendaharaan dalam ulumul quran. Dikatakan dapat menjawab permasalahan umat, karena prosedur kerja
metode ini adalah mengambil berbagai
ayat-ayat yang representatif dari seluruh Alquran yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. kemudian
mufassir melengkapi dirinya dengan
berbagai macam ilmu tafsir, menghubungkan masalah dengan interdiaipliner atau multidiaipliner, dan
ditarik kembali kepada Alqur'an,
serta pada akhimya menemukan sebuah jawaban Alquran terhadap masalah
yang sedang dihadapi.
Untuk tidak terlalu luas dalam pembahasannya, maka penulis
membatasinya pada apa dan bagaimana hakekat
penafsiran dengan menggunakan metode tafsir
maudhu'i. Dalam analisisnya penulis menggunakan pola pikir deskriftif-kontekstual. Artinya adanya kerja
penggambaran obyek secara jelas,
kemudian diadakan pemaknaan terhadap teks dengan mencari kebermaknaan
dengan melihat keterkaitan masa lampau, masa kini, dan mendatang, atau mendudukkan antara yang sentral dengan yang perifer.
II. PENGERTIAN TAFSIR MAUDIIU' I
Kata maudhu'i berasal dari bahasa
arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi'il madhi wadha'a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat.[1] Arti maudhu'i
yang dimaksud di sini ialah
yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu'i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu
judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu'i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat,
seperti arti kata hadis maudhu' yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[2]
Adapun pengertian tafsir maudhu'i (tematik)
ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur'an
yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya
sedapat mungkin sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan
dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan
hukum-hukum.[3]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan
untuk menerangkan ciri pertama
bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut
sintesis karena merupakan upaya menyatukan
pengalaman manusia dengan alqur'an.[4]
Namun ini bukan berarti metode ini
berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran
kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di
dalam komteks suatu pencarian tunggal yang
ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai
suatu pengalaman manusia
tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam
konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut
sistetis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap
ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah
pandangan yang tersusun.
Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu
tema, diharuskan untuk
mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan,
dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang
mewakili (representatif).[5]
Dari beberapa
gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu'i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma
tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan
untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma
tertentu, dengan memperhatikan tertib
turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
III. SEJARAH TAFSIR MAUDHU'I
Dasar-dasar
tafsir maudhu'i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal
dengan nama tafsir bi al-ma'sur.
Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat
dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu'i dalam bentuk awal.[6]
Tafsir-tafsir
buah karya para ulama yang kita ketahui sampai sekarang ini kebanyakan masih
menggunakan metode tafsir al-tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam kitab-kitab mereka, ayat
demi ayat, surat demi surat
secara tertib sesuai dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan judul/tema
ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena dahulu pada
awal pertumbuhan tafsir, mereka
masih belum mengambil spesialisasi dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka
untuk menafsirkan ayat-ayat alqur'an secara tematik/topikal atau sektoral, (2) karena mereka belum terdesak untuk mengadakan tafsir
maudhu'i ini, disebabkan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hafal
seluruh ayat Alquran, dan sangat menguasai segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk menghubungkan ayat satu dengan ayat
yang lain yang sama-sama membicarakan judul/topik yang satu.[7]
Kalau kita kembali melihat ke dalam sejarah kebudayaan Ialam bahwa pada
permulaan Ialam yaitu zaman Rasulullah dan masa sahabat, perhatian mareka terkonsentrasi pada upaya
penyiaran agama Ialam, menghadapi
berbagai tantangan orang-orang non muslim, menghafal dan pelestarian Alquran dan al-hadia, maka
wajarlah kalau tafsir maudhu'i belum berkembang pada masa itu seperti sekarang ini. Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi informasi, maka tafsir maudhu'i semakin populer dan mutlak
dibutuhkan. Karena Alquran harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat,
tempat berkonsultasi baik bersikap
maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi seseorang
berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala sesuatu yang diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya, tujuannya, hasilnya,
semuanya itu haruslah menjiwai
pesan-pesan Alquran. Dari sisi ini, re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang diberikan
para ulama dahulu, dengan metode
tafsir maudhu'i mutlak diperlukan. Kalau demikian halnya, maka akan lahir
mufassir-mufassir baru yang selalu mengkaji dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa.
Tafsir maudhu'i lebih
kompleks dan lebih tajam dibandingkan dengan tafsir tahlili (analitis).
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Sadr tentang perbedaan antara tafsir
maudhu'i dan tahlili yaitu (1) peran mufassir yang mempergunakan tafsir tahlili
umumnya pasif. Pertama-tama ia mulai dengan
membahas sebuah naskah Alquran tertentu, dimulai dari sebuah ayat atau kalimat, tanpa merumuskan dasar-dasar
pemikiran atau rencana terlebih dahulu, kemudian mencoba untuk
menetapkan pengertian Alquran dengan bantuan perbendaharaan al-qur'gn dan
berbagai indikasi yang ada padanya dalam
naskah khusus tersebut ataupun yang di luar itu. Secara umum usahanya
terbatas pada penjelasan sebuah naskah Alquran tertentu. Dalam hal ini, peran naskah serupa dengan si pembicara,
dan tugas pasif si mufassir ialah
mendengarkan dengan penuh perhatian dengan pikiran yang cerah dan jernih serta
penguasaan atas bahasa arab, baik yang klasik, halus serta gaya bahasa arab. Dengan pikiran dan semangat
yang demikian mufassir duduk
menghadapi A1-qur'an dan mendengarkan dengan penuh perhatian peranannya pasif sementara
Alquran menonjolkan arti harfiahnya, si mufassir mencatatnya di
dalam tafsimya sampai pada batas pemahamannya.
Kontras dengan hal ini, mufassir yang memaki metode maudhu'i (tematiks) tidak memulai aktifitasnya
dari naskah Alquran, tetapi dari realitas kehidupan. la memusatkan perhatiannya
pada sebuah subyek tertentu dari berbagai masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan sosial atua kosmilogi, dengan menggunakan
kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subyek
tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemecahan-pemecahan yang dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut,
dengan jurang pemisah di antara keduanya. Setelah itu, ia kembali kepada
naskah Alquran, namun tidak dalam posisi
sebagai seorang pendengar pasif dan seorang pencatat. la menempatkan sebuah topik dan masalah yang ada dari
sejumlah pandangan dan gagasan manusia dihadapan Alquran. Dengan begitu ia
mulai sebuah dialog dengan Alquran, di mana si
mufassir bertanya dan Al-qur’an memberikan
jawabannya.[8] Dalm metode tafsir maudhu'i si mufassir mengkaji
topiknya dengan menghubungkannya
dalam batas-batas kemampuannya, dengan pengalaman intelektual
manusia yang tidak sempurna sebagaimana yang diwakili oleh pandangan-pandangan berbagai pemikir baik yang
benar maupun tidak benar dengan menggunakan pemikiran-pemikiran tersebut sebagai
alat bantu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemudian kembali
menyimpan hasil pencariannya, ia kembali kepada Alquran, tidak sebagai
pendengar yang pasif tetapi sebagi seseorang
yang memasuki suatu dialog. Dengan semangat pencarian dan kontemplatif, ia
bertanya kepada Alquran yang dimulai
dengan naskah-naskah Alquran mengenai subyek kajiannya. Tujuannya di
sini ialah menemukan pandangan Alquran mengenai subyek kajian dan sampai pada
satu kesimpulan yang diilhami oleh naskah, sambil membandingkannya dengan gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang
berhubungan dengan subyek tersebut. Dengan demikian, perbedaan mendasar
yang pertama antara tafsir tahlili dan maudhu'i ialah bahwa dalam metode yang
pertama si mufassir pasif, pendengar sambil
membuat catatan yang tidak demikian dengan metode yang kedua. Tafsir
maudhu'i ialah meletakkan warisan intelektual dan
pengalaman manusia sebagaimana juga pemikiran kontemporer di hadapan Alquran, untuk mencari pandangan Alquran
tentang subyek kajian yang dibahas. Selanjutnya al-Sadr mengemukakan bahwa perbedaan
kedua (2) bahwa tafsir maudhu'i selangkah lebih maju dari pada tafsir
tahlili. Tafsir tahlili membatasi dirinya
pada pengungkapan arti ayat-ayat Alquran secara terperinci, sementara tafsir tematik menuju pada sesuatu yang lebih dari
itu dan mempunyai lingkup pencarian
yang lebih luas. la
berusaha mencari tata hubungan
antara ayat-ayat yang berbeda, yang perincian masing-masing ayatnya telah disediakan
oleh metode analitik, untuk mencapai kepada sebuah susunan pandangan Alquran yang utuh, yang di dalam kerangka kerja tersebut masing-masing ayatnya mempunyai
tempat sendiri. Inilah apa yang kita
sebut sebagi pandangan atau cara pandang. Metode tematik berupaya, miksimal
untuk sampai pada pandangan A1-qur'an tentang nubuwwah, pandangan Alquran
sehubungan dengan teori ekonomi, pandangannya
tentang hukum-hukum yang membentuk jalannya sejarah dan pandangannya
tentang kosmologi. Dengan demikian, tafsir maudhu'i satu tahap lebih maju dari
pada tafsir tahlili, dan bertujuan untuk sampai pada suatu susunan pandangan yang mewakili sikap Alquran tentang sebuah tema tertentu dari berbagai ayat idiologi, sosial dan
kosmologi.[9] Keutuhan antara naskah Alquran dan
pengalaman manusia yang mana mufassir mondar-mandir
berdialog dan berfikir antara Alquran membela
kepentingan manusia dan Alquran sebagai wahyu Allah akan besar kemungkinan dapat menjawab masalah umat manusia.
IV. URGENSI TAFSIR MAUDHU'I
Bila dicermati, dalam
metode tafsir maudhu'i akan diperoleh pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan
berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-hal yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan
teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah
yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal
menyebutkan faedah metode ini yaitu
(1) akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa
menjelaskan arti dan maksud-maksud
ayat-ayat A1-qur'an dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya. (2) akan memberikan
pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran
mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai
topik tersebut secara lengkap. (3)
menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan
oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti
dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan, (4) lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Alquran
yang umum bagi semua pranata kehidupan
sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah
difahami, dimanfaatkan dan diamalkan, (5) mempermudah bagi para
muballigh dan penceramah serta pengajar
untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Alquran, (6) akan bisa cepat sampai ke tujuan
untuk mengetahui atau mempelajari
sesuatu topik bahasan aI-qur'an tanpa susah payah, (7) akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan
mengamalkan isi Alqur'an, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam
kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran
dengan pranata kehidupan mereka. (8) silabi pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku
pelajaran sehingga menunjang
pendidikan yang merupakan program nasional.[10] Menurut
al-Zahabi bahwa telah terjadi kesalahan pada tafsir bi al-ro'yu antara
lain (1) kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat
petunjuk dan penjelasan yang dikandung dalam lafaz-lafaz alqur'an tersebut, dan (2) kecenderungan mufassir
untuk semata-mata memperhatikan lafaz dan maknanya yang bisa difahami
oleh penutur bahasa Arab tanpa memperhatiakn apa yang sebenarnya dikehendaki
oleh yang berbicara dengan Alqur'an
tersebut, yang dibicarakan olehNya dan konteks
kalimatnya.[11]
Oleh karenanya oleh Mursi Ibrahi mmengemukakan bahwa perlunya mufassir mengumpulkan nash-nash Alquran yang berhubungan
dengan judul yang dibahas.[12] Dari sini kita melihat
bahwa tafsir maudhu'i itu
penting artinya. Disamping banyak
faedah tafsir maudhu'i, juga terdapat kekeliruan menafsirkan Alquran yaitu karena dalam menafsirkannya hanya
mengambil parsial ayat, juga tafsir dengan metode ini semakin penting melihat
banyaknya penyusupan konsep-konsep asing dalam kosa kata, yang menimbulkan
kerancuan dalam pengetahuan tentang Ialam serta pandangan di kalangan umat Ialam,
dan pada masa sekarang tidak banyak umat Ialam yang hafal Alqur'an, maka besar kemumgkinan terjadinya pemahaman ayat
tidak sejalan dengan ayat-ayat lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Farmawi bahwa tafsir ini dapat menghindarkan
terjadinya pendapat-pendapat yang saling bertentangan dan subhat-subhat
yang diciptakan oleh oarang-orang yang
mempunyai tujuan tertentu.[13]
Telah muncul beberapa kitab atau makalah yang dalam penafsirannya dengan memakai tafsir maudhu'i atau
sedikit-dikitnya mendekati penerapan tafsur
ini, antara lain:
- Abu A'la al-Maududi, al-Riba fi Alquran
al-Karim.
- Abu Ibrahim Musa, al-Insan fi Alquran al-Karim.
- Abbas al-Aqqad, al-Mar'ah fi Alquran
al-Karim.
- M. Quraiah Shihab, "Penafsiran
Khalifah dengan Metode Tematik", dalam Membumikan AI-Qur' an.
- M. Quraiah Shihab, Tafsir
al-Mishbah.
- Jalaluddin,
Konsep Perbuatan Manusia menurut Alquran (Suatu Kajian Tafsir Tematik dan sudah menjadi buku).
- Maragustam
Siregar, Ummat Menurut AI-Qur'an (Tinjauan Tafsir Maudhu'i), berupa makalah.
- Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A. Ide-ide sentral Syekh Nawawi
al-Bantani tentang Pendidikan Islam (disertasi dan sudah menjadi buku).
- Abd. Mun’im Salim, Dr., Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik Dalam
AlQuran, Manajemen
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 (disertasi).
V. OPERASIONALIAASI
KERJA TAFSIR MAUDRU'I
Menurut
al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu'i.[14] Kemudian tujuh
langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab yaitu:
1.
menetapkan
masalah yang akan dibahas
2.
menghimpun
seluruh ayat-ayat At-qur'an yang berkaitan dengan masalah tersebut
3. menyusun urut-urutan
ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur
pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
4.
mempelajari/memahami
korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma
sentral pada suatu surah)
5.
melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas
6.
menyusun autline pembahasan dalam kerangka yang sempurna
sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan
dengan pokok masalah
7.
mempelajari
semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan
yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
8. menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap
sebagai jawaban Alquran terhadap masalah
yang dibahas.[15]
Contoh: Potensi-potensi manusia dalam Alquran (masalahnya apa jawaban
Alquran tentang potensi-potensi manusia, (2) mencari kata kunci yakni kata aql,
qalb, nafs, ruuh, jasad, dan lain-lain, (3) diantara sekian ayat dipilih yang
mewakilinya dan ditertibkan sesuai dengan Makkiyah Madaniyahnya, (4) melengkapi
bahan-bahan dari hadis, (5) menyusun outline penelitian, (6) mempelajari secara
seksama, dengan ilmu-ilmu yang dikuasai dan dapat memakai tafsir bil ma’tusr,
tahlili atau lainnya, (7) menyusun hasil penelitian sebagai jawaban Alquran
terhadap tema yang dibahas).
Dengan memperhatikan kompleksnya pembahasan proses kerja dalam penerapan
metode tafsir maudhu'i, maka membutuhkan seorang mufassir yang betul-betul berwawasan luas maka keilmuannya
terutama ketika meneliti berbagai ayat yang berhubungan dengan tema dan
memilihnya secara representatif. Di
samping seorang mufassir tabu tentang perangkat ulum Alquran terutama ilmu munasabah, asbab al-nuzul (kalau ada), tafsir
bi al-ma'tsur, ilmu bahasa arab, juga si mufassir harus bersikap hati-hati dan tekun.
Oleh
karena itu begitu urgensinya penerapan metoda ini dalam rangka mencari solusi
jawaban Alquran terhadap permasalahan umat, maka setiap mufassir seharusnya
melengkapi dirinya perangkat penerapan metode ini sehingga hasilnya dapat
memuaskan.
Kalau dilihat dari kompleksnya operasionaliaasi
kerja metode tafsir ini akan dapat menjawab permasalahan umat atau paling tidak
akan lebih mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Allah swt. Karena metode
ini di samping membiarkan
ayat-ayat Alquran berbicara dengan dirinya sendiri,
mencakup pendapat para sahabat, tetap memakai hadis-hadis Nabi, juga meng-sintesakannya dengan pengalaman kemanusiaan.
VI. RINGKASAN
Dari berbagai pembahasan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa metode
tafsir maudhu'i adalah suatu metode yang cara kerjanya mengumpulkan ayat-ayat Alquran
yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama
membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin
sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain, kemudian
mengistimbatkan hukum-hukum. Dalam penerapannya ada beberapa langkah yang harus
ditempuh oleh si mufassir antara lain menetapkan masalah yang akan
dibahas, menghimpun seluruh ayat-ayat yang
terkait dengan masalah, menyusun urut-urutan ayat terpilih, memahami
korelasi masing-masing ayat dengan surah-surah dan lain-lain. Melihat
kompleksnya cakupan ilmu yang menjadi penopangnya maka besar kemungkinan akan dapat menjawab masalah umat, atau paling tidak
mendekati kebenaran yang ditunjuk oleh
Alqur'an. Demikialah makalah ini dibuat, semoga ada manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu'i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta,
1990.
Abdullah, Taufiq dan Karim,
Rush (ed), Metodologi
Penelitian Agama, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1989.
Bayumi, al, Mursi Ibrahim, Dirasat fi al-Tafsiir al-Maudhu'i , Dar al-Taudiwiyah fi al-Tabaah, Kairo, 1970.
Dzahabi, al, Muhammad
Husein, Al-Tafsir wa
al-Mufassiruun, Jilid I, Dar al-Kutub al-Haditsah, tt.p. 1978.
Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan
dalam Penafsiran Alquran, Rajawali,
Jakarta, 1986.
Farmawi al, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i, Matba'ah al-Hadarah al-'Arabiyah, Kairo, 1977
Ibrahim, Muahammad lamail, Mu’jam alAlfaz wa al-A'lam Alquraniyah, Dar al-`Ulum,
Kairo, 1968.
Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A 'lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1987.
Musa, Muhammad, Qamus Qur'ani, Khazanah Ibrahim,
Iakandariyah, 1966.
Sadr al, Muhammad Baqir, " Pendekatan Tematik Terhadap
Tafsir Alquran ", dalam Ulumul Qur'an,
Vol I, No. 4, 1990.
[3]Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam al-Alfaz wa al-a'lam al-Our'aniyah, Dar
al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
[4] Sadr at, Muhammad Baqir, "Pendekaian Temalik
Terhadap Tafsir AI-Qur'an ", dalam Ulumul
Quan, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34.
[5]Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu'i, Matba'ah
al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977, hal. 62.
[8]Sadr
at, Muhammad Baqir, "Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur'an
", dalam Ulumul Qur an, Vol
I, No. 4, 1990, hal. 32-33.
[10] Abdul Djalal, Urgensi
Tafsir Maudlin 'i Pada Masa
Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990,
hal. 101-102.
[11] Zahabi, at, Muhammad Husein, AI-Tafsir wa
al-Mufassiruun, Jilid 1, Dar al-Kutub al Haditsah,
tt.p. 1978, hal. 14.
[12] Bayumi, al, Mursi Ibrahim, Dirasat fi al
Tafsiral-Maudhu'1, Dar al-Taudiwiyah fi al-Tabaah, Kairo,
1970, hal.14.
[13]Farmawi
al, Abd al-Hayy, Al Bidayah fr al-Tafsir al Maudhu 'i, Matba'ah
al-Hadarah al-Arabiyah, Kairo, 1977, hal.6.
[15] Abdullah,
Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hal. 141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya :) no SARA!