METODE-METODE TAFSIR AL-QUR'AN
Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
A. PENDAHULUAN
Seseorang tidak mungki berarti dengan
ajaran-ajaran Alquran,
terkecuali sesudah kita membaca Alquran,
mengetahui isinya. prinsip-pnnsip yang ditampungnya.
Hal ini tidaklah mungkin dicapai melainkan deingan mengetahui apa yang
ditunjuki oleh lafadh-lafadh al-qur'an. Dan inilah yang kita namakan Ilmu Tafsir. Apalagi seseorang ingin mendalami isi Alquran melalui tafsir, ia harus mengerti
bagaimana metode mufassir tersebut sewaktu
menulis karyanya.
Karenanya dapatlah kita menetapkan, bahwa tafsirlah anak kunci
perbendaharaan isi Alquran yang
diturunkan untuk memperbaiki
keadaan manusia, melepaskan manusia
dari kehancuran. Tanpa tafsir, tidaklah mungkin kita sampai kepada
perbendaharaan isi Alquran walaupun
kita dapat membacanya dengan segenap rupa qiraahnya.[1]
B. PENGERTIAN TAFSIR
Menurut bahasa
Tafsir ialah al-fasr dan tabyiin
(menjelaskan atau menerangkan) atau menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak. Makna inilah yang diherikan terhadap kalimat tafsir
dalam QS. AI-Furqan (25): 33.
Tidaklah orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Di dalann
istilah, tafsir itu bermakna "Suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang Al-qur'anul Karim dari segi dalalahnya kepada yang dikehendaki Allah
sekedar yang dapat disanggupi manusia". Perkataan di dalamnva
dibahas tentang
keadaan-keadaan al-qur'an memberi pengertian
bahwa ilmu-ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan yang lain, tidak masuk ke dalam bidang tatsir. Perkataan
"dari segi dalalahnya kepada yang dikehendaki Allah", mengeluarkan ilmu-ilmu yang membahas tentang
keadaan-keadaan Al-qur'an dari jihad
yang bukan jihad dalalahnya, seperti ilmu qiraat yang membahas tentang keadaan-keadaan A1-qur'an dari segi cara
menyebutnya, dan seperti ilmu rasmi al-Usmani yang membahas keadaan-keadaan
al-qur'an dan segi cara menulis
lafadh-lafadhnya. Perkataan menurut “kemampuan sekedar kesanggupan manusia” memberikan pengertian bahwa tidaklah dipandang suatu kekurangan
lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang mutasyabihah dan
tidaklah dapat mengurangi nilai tafsir
lantaran tidak mengetahui apa yang sebenarnya Allah kehendaki.2
Tafsir menurut
istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah Ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafad-lafad Qur'an, petunjukpetunjuknya,
hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya
ketika tersusun serta hal-hal lain
yang melengkapinya.3 Menurut
az-Zarkasyi bahwa Tafsir ialah ilmu
untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.'
C. MACAM TAFSIR
BERDASARKAN SUMBERNYA
1. Tafsir bil
ma'tsur
Tafsir bil ma'tsur adalah rangakain keterangan
yang terdapat dalam alqur'an, sunah Nabi
saw, kata-kata sahabat atau tabi'in sebagai keterangan atau penjelasan maksud dari Allah (firman Allah), yaitu
penafsiran Al-qur'an dengan Assunah
Nabawiyah. Dengan demikian maka tafsir bil ma'tsur adalah tafsir Al-qur'an
dengan Al-qur'an, penafsiran Al-qur'an dengan as-sunah atau penafsiran Alqur'an menurut atsar yang timbul dari
kalangan sahabat, atau tabi'in. Contoh
penerapannya dapat dilihat sewaktu membahas tentang Tafsir Bil Ma'tsur.
Kedua macam tafsir tersebut di atas
yaitu penafsiran al-qur'an dengan alqur'an dan penfsiran al-qur'an dengan
sunah merupakan jenis tafsir yang paling
luhur dan tidak diragukan untuk
diterima. Bentuk penafsiran yang pertama atau penafsiran al-qur'an dengan al-qur'an dikatakan penafsiran
paling luhur karena Allah Ta'ala lebih
mengetahui maksudnya dari pada yang
lainnya. Demikian juga bentuk tafsir yang kedua yaitu penafsiran Al-qur'an dengan Sunah itu dikatakan tafsir paling
luhur karena Rasul saw sungguh telah dijelaskan tentang urgensi dan fungsinya oleh Al-qur'an itu sendiri,
di mana ditegaskan bahwa Rasul adalah berfungsi sebagai penegas dan penjelas
Al-qur'an. Dalam QS. Al-Nahl (16):44 disebutkan:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Apa yang disampaikan oleh Rasul saw baik berupa
penjelasan maupun keterangan yang sanadnya sahih dan benar maka hal demikian adalah termasuk yang tidak
diragukan lagi akan kebenarannya dan patut untuk dijadikan pegangan.
Al-quran ditafsirkan oleh sahabat. Tafsir ini juga termasuk tafsir yang
muktamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima karena sahabat adalah yang
pernah berkumpul dengan Nabi saw dan mereka mengambil dari sumbemya yang asli, mereka
menyaksikan turunnya al-qur'an dan mengetahui asbab al-nuzul. Mereka mempunyai tabiat
jiwa yang murni, fitrah yang lurus lagi pula berkedudukan yang tinggi dalam hal
kefasihan dan kejelasan
berbicara. Mereka lebih memiliki kemampuan dan memahami kalam Allah. Mereka mengetahui rahasia-rahasia al-qur'an
sudah tentu akan melebihi orang lain
yang manapun juga. Al-Hakim berkata:" Bahwa tafsir shahabat yang
menyaksikan wahyu dan turunnya
Al-qur'an, kedudukan hukumnya adalah marfu’." Artinya tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana
kedudukan hadis nabi yang silsilahnya sampai kepada nabi. Karena itu maka
tafsir sahabat adalah termasuk
ma'tsur.
Adapun tabi'in, kedudukan tafsirnya ada perbedaan
pendapat. Sebagian ulama ada yang
berpendapat, tafsir tabi'in itu termasuk tafsir ma'tsur karena sebagian pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian
ulama berpendapat bahwa tafsir tabi'in
adalah termasuk tafsir dengan Ro'yu atau
akal, dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan para mufassir lainnya (selain nabi dan shahabat).
Mereka menafsirkan Alqur'an sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadis).
Sebab-sebab kelemahan riwayat dengan Ma'tsur.
Penafsiran Al-qur'an dengan Al-qur'an dan
penafsiran Al-qur'an dengan Sunah yang shahih lagi marfu' sampai kepada Nabi saw adalah tidak perlu
diragukan lagi untuk diterima dan tidak diperselisihkan. Dan keduanya
adalah tafsir yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Adapun Alqur'an dengan ma'tsur
shahabat atau tabi'in ada beberapa kelemahan dari berbagai segi:
a.
Campur
baur antara yang sahih dan tidak sahih, sahabat
atau tabi'in dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampur-adukan antara yang hak dan
batil.
b.
Riwayat-riwayat
tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyaat dan khurafaat yang bertentangan dengan akidah islamiah.
c.
Ketika di kalangan sahabat ada golongan yang ekstrim, mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan yang dinisbatkan
kepada sebagian sahabat.
d. Musuh-musuh Islam
dari orang-orang zindiq ada yang mengicuh sahabat dan tabi'in
sebagaimana mereka mengicuh Nabi saw perihal sabdanya, hal ini dimaksudkan untuk
menghancurkan agama dengan jalan menghasut dan membuat-buat hadis. Tentu hal
ini perlu diwaspadai.
2. Tafsir Diroyah (ro’yu)
Yang dimaksud ro'yu di sisni ialah ijtihad yang
didasarkan pada dasar-dasar yang sahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa
diikuti serta sewajarnya diambil
oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-qur'an atau mendalami pengertiannya. Tidaklah yang dimaksud dengan ro'yu
atau pendapat di atas semata-mata
dengan ro'yu atau hawa nafsu, berdasarkan kata hati atau kehendaknya.
Berdasarkan pengertian di atas tafsir
ro'yu terbagi kepada dua macam, yaitu
tafsir yang mahmuud (terpuji) dan tafsir yang madzmuum (tercela).
Tafsir mahmuud ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh
dari kejahilan dan kesesatan,
sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang teguh pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-qur'an. Barang siapa yang menafsirkan Al-qur'an menurut
ro'yunya atau ijtihadnya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
tersebut serta berpegang pada makna-makna
Al-qur'an maka penafsirannya dapat diambil serta patut dinamai dengan tafsir mahmuud atau tafsir masyru’
(berdasarkan syari'at).
Sedangkan Tafsir Madzmum apabila Al-qur'an
ditafsirkan tanpa ilmu, atau
menurut seenaknya dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari'at, atau kalam Allah dan ditafsirkan
menurut pendapat yang salah lagi sesat.'
Hal-hal yang harus
diperhatikan apabila seseorang menggunakan Tafsir Bir-Rar’yi yakni:
a.
Dikutip
dari Rasul SAW dengan memperhatikan hadis-hadus yang dhaif atau hadis maudhu’.
b.
Mengambil
dari pendapat shahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’.
c.
Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena
al-qur'an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.
d.
Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab serta
sesuai dengan ketentuan syara’. 6
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan
menafsirkan Al-qur'an dengan ro'yu kepada dua pendapat:
a.
Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-qur'an dengan ro'yu
karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan, itulah pendapat
sebagian ulama. Pendapat yang membolehkan penafsiran dengan ro'yu dengan syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan, ini
adalah pendapat dari kebanyakan ulama.
Muhammad Aly Ash-Shobuny, Pengantar
Studi Al-Qur'ann,
Al-Ma'arif, bandung, 1987, hat. 217.
6 lhid
Ulama yang tidak membolehkan menafsirkan dengan
ro'yu dengan alasan sebagai berikut:
a.
Tafsir
dengan ro'yu adalah membuat-buat (penafsiran Al-qur'an dengan tidak berdasarkan ilmu). Karena itu tidak
dibenarkan berdasarkan firman Allah:
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Baqarah [2]: 169).
b.
Sebuah hadis tentang ancaman terhadap orang yang
menafsirkan dengan ra'yu, yaitu sabda Rasul saw "Berhati-hatilah dalam mengambil hadisku kecuali benar-benar anda
telah mengetahuinya. Siapa yang mendustakan secara sengaja maka bersedialah
bertempat di neraka. Dan barang siapa menafsirkan menurut pendapatnya (ro'yunya) maka hendaklah dia bersedia
menempatkan diri di neraka pula" (HR Turmudzy). Firman
Allah swt:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS An-Nahl [16]: 44).
c. Tugas menjelaskan Al-qur'an dikaitkan
kepada Rasul, karena itu dapatlah dipahami bahwa selain dari rasul tidak ada
hak sedikitpun untuk menjelaskan makna Al-qur'an.
d. Para sahabat dan tabi'in merasa berdosa
bila menafsirkan Al-qur'an dengan ro'yunya, sehingga Abu Bakar Shidiq
mengatakan : "Langit manakah yang akan menauingiku dan bumi manakah
yang akan melindungiku bila aku tafsirkan A1-qur'an menurut ro'yuku atau
aku katakan tentangnya sedang aku sendiri
belum mengetahui betul".
Ulama yang membolehkan tafsir dengan ro'yu adalah golongan jumhur dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Allah telah
menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Alqur'an seperti firmanNya:
"Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan membawa berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS Shad
[38]: 29). Tadabbur dan tadzakkur tidak bisa
tanpa mendalami rahasia-rahasia al-qur'an dan berusaha keras dalam memahami artinya.
b. Allah membagi manusia dalam dua
klasifikasi, kelompok awam dan kelompok
ulama. Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar
hukum. Firman Allah:
"Dan
kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka. (QS An-Nisa: 83).
Makna istimbat pada ayat tersebut ialah menggali
makna-makna yang mendetail dengan penuh
pemikiran. Langkah tersebut dapat dicapai dengan ijtihad dan menyelami
rahasia-rahasia Al-qur'an. Mereka
berpendapat : ”Bila penafsiran
menurut ijtihad tidak dibenarkan maka
ijtihad itu sendiri tidak diperbolehkan, akibatnya hukum banyak yang
terkatung-katung, dan ini tidak karena seorang mujtahid dalam hukum syara’ mendapat pahala, baik benar maupun
salah dalam ijtihadnya, selama ia
telah mencurahkan segala kemampuannya dan membuktikan kesungguhannya untuk mencapai yang hak dan brnar.
c. Para sahabat, mereka membaca Alqur’an dan
ternyata mereka berbeda pendapat dalam cara penafsirannya. Dapat dimaklumi,
karena mereka tidak mendengar seluruh yang
mereka ucapkan tentang penafsiran Alqur’an dari Nabi saw.
d.
Nabi saw mendoakan Ibnu Abbas dengan sabdanya : "Ya
Allah, berilah ia pengetahuan tentang
agama dan ajarilah ia tentang ta’wil". Bila yang dimaksud
dengan ta’wil di sini hanya terbatas pada penyimakan dan kutipan
sebagaimana Al-qur’an, niscaya tidak ada faedahnya dalam mengkhususkan doa untuk Ibnu Abbas. Dengan
demikian, dinyatakan bahwa
ta’wil adalah penafsiran dengan ro’yu atau ijtihad.7
C. MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
Macam tafsir berdasarkan
metodenya ada empat macam yaitu (1) tafsir tahlily, (2) tafsir Ijmaly, (3) tafsir muqaaran, (4) tafsir maudhu’i
(tematik).
Tafsir Tahlily yaitu metode menafsirkan Al-qur'an dengan
cara mengkaji ayat-ayat Al-qur'an dari segala segi dan makna, menafsirkan ayat
demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan
urutan dalam mushaf usmani. Untuk itu perlu menguraikan kosa kata dan lafadh, menjelaskan arti, sasaran yang dituju,
kandungan ayat yaitu unsur ijaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan
apa yang diistimbatkan dari ayat, yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah,
perintah dan seterusnya serta mengemukakan kaitan antara ayat dan
relevansinya dengan surah sebelum dan sesudahnya,
untuk itu merujuk kepada sebab-sebab turunnya ayat hadis rasul, sahabat serta tabi' in.
Dalam karya Nashiruddin Baidan8 secara panjang
lebar dia menyatakan bahwa penafsiran
yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma'tsur (riwayat) atau rayi
(pemikiran). Di antara kitab
tafsir tahlili yang mengambil bentuk Al-ma'tsur ialah Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ayat Al-Qur'an karangan
Ibn Jarir alThabari (w. 310 H), Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim (terkenal
dengan Tafsir Ibn Katsir) karangan Ibn
Katsir (w. 774 H), dan Al Durr
al-Mantsur fi al-tafsir bi alMa-tsur
karangan al-Suyuthi (w. 991 H).
Adapun tafsir Tahlili yang mengambil bentuk al-ra’yi antara lain: Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741
H), Al-Kasysyaf karangan Zamakhsyari (w. 538 H), Tafsir al-Manaar karangan
Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H)
Pola penafsiran yang
diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir yang dinukilkan di atas
terlihat dengan jelas, mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam
ayat-ayat Al-Qur'an secara komperehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur
maupu al-ra’yu dalam
penafsiran tersebut AlQur’an ditafsirkan
ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari
ayat-ayat yang ditafsirkan. Demikian pula
ikut diungkapkan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan Nabi saw, sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in dan para ahli tafsir lainnya dari
berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fiqh, bahasa, sastra,
dan sebagainya, sehingga lahirlah
berbagai corak penafsiran fiqh, sufi, fisafat, `ilmi,
adabi wal ijtima, dan lain-lain.
Di dalam tafsir bi-al-m’'tsur tetap ada analisis
tapi sebatas adanya riwayat. Artinya, penafsiran akan berjalan terus selama riwayat
masih ada, jika riwayat habis, maka penafsiran berhenti pula. Berbeda halnya
dengan tafsir bi al-ra’yu, dimana penafsiran akan berjalan terus, ada atau tidak adanya riwayat. Hal itu 10 dimungkinkan
karena fungsi riwayat di dalam tafsir bi al-ra'yi hanya sebagai legitimasi
bagi suatu penafsiran bukan sebagai titik tolak atau subjek.
Di dalam tafsir bi al-ra’yu yang menggunakan metode
analitis ini para mufasir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih
otonom berkreasi dalam memberikan interprestasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh
syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu'tabar.
Di dalam tafsir tahlili, si mufasir relatif punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide
dan gagasan-gagasan berdasarkan
keahliannya sesuai dengan pernahaman ayat. Metode tahlili,
tidak memerlukan perbandingan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, maupun antara berbagai
pendapat ulama dalam menafsirkan suatu
ayat. Metode analitis amat
berbeda dari metode tematik, khususnya dari sudut penetapan tema-tema atau topik-topik yang akan dibahas. Metode analitis
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara berurutan dari ayat pertama sampai ayat terakhir
dalam mushhaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan sebagai terlihat di
dalam kitab-kitab tafsir analitis yang telah disebutkan di muka.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Analitis
1. Kelebihan
a. Ruang lingkup yang luas
Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua
bentuknya: ma’tsur dan ra’yi. Bentuk al-ra’yi dapat
lagi di kembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing mufasir. Ahli bahasa,
untuk menafsirkan Al-Qur'an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir
al-Nasafi karangan Abu al-Su'ud,
Ahli qiraat seperti Abu Hayyah, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya,
ahli filsafat, kitab tafsirnya
di dominasi oleh pemikiran-pemikiran
filosofis seperti Tafsir al-Fakhr al-Razi. Ahli Sains dan teknlogi menafsirkan Al-Qur'an dari
sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Tafsir Al-Jawahir karangan al-Thanthawi al-Jauhari.
b.
Memuat berbagai ide
Pola penafsiran metode ini
dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir. Dibukanya
pintu selebar-lebar bagi mufasir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya
dalam menafsirkan
Al-Qur'an, maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti Tafsir
al-Thabari (15 jilid), Tafsir Ruh al-Ma'ani (16 jilid), Tafsir al-Fakhr al Ra-zi (17 jilid) Tafsir al-Maraghi (10 jilid) dan lain-lain.
2. Kekurangan
a. Menjadikan petunjuk Al-Qur'an parsial
Metode analitis juga dapat membuat petunjuk
Al-Qur'an bersifat parsial atau
terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan Al-Qur'an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak
konsisten karena penafsiran yang
diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama
dengannya.
b. Melahirkan penafsiran subjektif
Metode analitis, sebagaimana telah disebut di muka, memberikan
peluang yang luas sekali kepada musafir untuk mengemukakan ide-ide dan
pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufasir
tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan Al-Qur'an secara subjektif, dan tidak mustahil pula ada di antara
mereka yang menafsirkan Al-Qur'an
sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
c.
Masuk pemikiran israiliaat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi
mufasir dalam mengemukakan
pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke
dalamnya, tidak terkecuali pemikiran israiliaat.
Urgensi Metode Analitis
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah
intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur'an. Berkat
metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang
besar. Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dipungkiri oleh siapa pun.
Dalam penafsiran Al-Qur'an, jika ingin menjelaskan
kandungan firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqh,
teologi, filsafat, sain, dan sebagainya, maka di sini metode tahlili atau analitis lebih berperan dan lebih dapat diandalkan daripada metode-metode yang lain.
2. Tafsir Ijmaly
Yaitu penafsiran Alqur'an secara singkat dan
global tanpa uraian panjang lebar, dengan cara mufassir menjelaskan sebatas
artinya tanpa menyinggung hal-hal lain selain
anti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan ayat demi ayat, surah demi surah,
sesuai urutan mushaf, setelah itu mengemukakan inti dalam kerangka uraian yang mudah.
Diantara kelebihan dari metode Ijmaly ialah
praktis dan mudah dipahami, bebas dari
penafsiran israiliyaat, dan akrab dengan bahasa Al-Qur'an. Sedangkan diantara kelemahannya
ialah menjadikan petunjuk AI-Qur'an bersifat
parsial dan tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. 9
3. Tafsir Muqaran
Yaitu metode menafsirkan Al-qur'an dengan cara
mengambil ayat Alqur'an kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama tafsir.
4. Tafsir
Maudhu'iy
Yaitu metode menafsirkan Al-qur'an dengan cara menetapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau
sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik
tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya
diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pendapat
Al-qur'an.10 Karena pentingnya
metode ini akan dibahas secara tersendiri.
C. Ilmu-ilmu Yang Dibutuhkan Bagi Mufassir
Seorang mufassir kitab Allah memerlukan beberapa macam ilmu pengetahuan
yang harus dipenuhi sehingga is benar-benar ahli dalam bidang mufassir.
Para ulama telah menyebutkan tentang macam-macam ilmu yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Menurut As-Suyuthi
sebagai berikut:
- Mengetahui bahasa arab dan ketentuan-ketentuannya
(ilmu nahwu, sharaf, etimologi). Hal ini sangat penting bagi seorang
mufassir, sebab bagaimana mungkin memahami ayat, tanpa mengetahui
perbedaan kata dan susunan kalimat.
- Mengetahui ilmu balaghoh (ma’any, bayan, badi') sangat penting dan diperlukan bagi
orang yang hendak menafsirkan Al-qur’an karena ia harus menjaga atau
memelihara bentuk kemu'jizatan.
- Mengetahui
ushul fiqih (tentang khash, `am, mujmal, mufashal dan sebagainya), juga diperlukan oleh seorang
mufassir dalam memahami Al-qur’an
supaya tidak kelirumemahaminya, serta tidak terpeleset oleh kebodohan
karena tidak tahu tentang ilmu-ilmu yang penting itu.
- Mengetahui
asbabun nuzul.
- Mengetahui tentang nasikh dan mansukh.
- Mengetahui ilmu qiraat.
- ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang diberi oleh langsung dari Allah. Ilmu yang
diwariskan ole Allah kepada seseorang yang mengamalkan sesuai dengan ilmunya, serta
Allah membukakan hati orang tersebut
untuk memahami rahasia-rahasianya.
Syarat-syarat dari ilmu yang telah disebutkan tadi
adalah untuk mewujudkan tafsir yang paling
tinggi martabatnya. Tafsir yang paling tinggi martabatnya hanya dapat dicapai dengan kita melengkapi
urusan-urusannya, yaitu:
a. Memahami hakekat
lafal yang tunggal, yang terdapat di dalam al-qur’an dengan memperhatikan cara-cara ahli bahasa
mempergunakan kalimat-kalimat itu.
Kebanyakan lafal-lafal Al-qur’an dipakai di mana Al-qur’an sedang
diturunkan untuk beberapa makna. Kemudian sesudah itu berlalu beberapa masa maka lafal-lafal itu dipakai untuk
makna-makna yang lain, umpamnya lafal
ta’wil.
b. Memperhatikan uslub-uslub Al-qur'an. Seorang mufassir harus mengetahui alat, yang dengan alat itu dia dapat
memahami uslub-uslub bahasa Arab yang
tinggi. Untuk itu perlu ilmu i'rab dan ilmu asalib (ma'ani dan bayan).
c. Mengetahui
keadaan-keadaan manusia. Allah telah menurunkan Alqur'an dan menjadikannya sebagai
kitab yang absah, di dalamnya diterangkan keadaan atau hal-hal yang tidak diterangkan
dalam kitab lain. Di dalamnya
diterangkan keadaan makhluk, tabiatnya, sunnah-sunnah ketuhanan di dalam menciptakan manusia. Dan
di dalamnya juga diterangkan kisah umat-umat
yang telah lalu. Karenanya, perlulah orang memperhatikan isi Al-qur’an,
memperhatikan pula keadaan perturnbuhan
dan perkembangan manusia dari zaman ke zaman.
d. Mengetahui jalan-jalan Al-qur'an
memberi petunjuk kepada manusia dengan Al-qur'an. Karenanya, wajiblah bagi
seorang mufassir yang melaksanakan fardhu
kifayah ini mengethui keadaan manusia di masa Nabi saw, baik dari bangsa arab
maupun bangsa lain. Dan bahwasanya Nabi
saw dibangkit Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan mendatangkan kebahagiaan kepada mereka.
e. Mengetahui sirah ( riwayat hidup Nabi saw dan sahabat), dan
bagaimana keadaan sahabat, baik dalam
bidang ilmu, dan bagaimana mereka menghadapi masalah-masalah keduniaan
dan keakhiratan.
E RINGKASAN
Berdasarkan sumbernya, tafsir
ada dua macam yaitu tafsir ma'tsur dan ro'yu. Tafsir ma'tsur yaitu tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan
yang sahih, sedang tafsir ro'yu adalah tafsir
yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman
sendiri dan penyimpulan (istimbat) yang didasarkan pada ro'yu saja.
Berdasarkan metode pendekatannya, tafsir ada empat macam
yaitu tahlily, ijmaly, muqaaran, dan maudhu’iy dan lain-lain. Dari berbagai tafsir
dilihat dari segi metodenya tentu terdapat keunggulan masing-masing dan kelemahannya. Yang terpenting para pembaca dapat
memahami bagaimana proses pemakaian
sebuah metode tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan Al'Ardl, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, Jakarta,
Rajawali, 1994.
M. Hashbi Ash-Shiddigy, Ilmu-ilmu Al-Qur'an,
Media-media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972
M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 1994.
Manna ' al-Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an, Litera Antarnusa, Bogor, 1994.
Muhammad Aly Ash-Shobuny, Pengantar Studi
Al-Qur'an, AI-Ma'arif, Bandung, 1987.
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya :) no SARA!