ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
A. PENDAHULUAN
Ilmu muhkam dan mutasyabih
bisa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat muhkam
dan mutasyabih.[1] Tidak sampai di
situ saja, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan
kita terhadap
cabang ilmu ini. Di antaranya adalah: apakah yang
dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih itu
sendiri? Megapa masalah ini muncul? Bagaimana pula pendapat ulama tentang ayat-ayat mutasyabih? Bagaimana contoh
beserta keterangannya? Dan apa pula
hikmah dari diturunkannya ayat mutasyabih?
B. PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH.
Menurut bahasa muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan.[2] Sedangkan mutasyabih berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah yaitu keadaan di mana
salah satu dari dua hal itu tidak dapat
dibedakan dari yang lain karena kemiripan di antara keduanya secara konkret maupun abstrak.[3]
Secara istilah, pengertian muhakam
dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat.
Yang terpenting di antaranya sebagai berikut. Pertama,
muhkam adalah ayat yang mudah diketahui
maksudnya, sedang mutasyabih
hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. Kedua, muhkam adalah ayat yang
mengandung satu wajah, sedang mutasyabih
mengandung banyak wajah. Ketiga, muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung
tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian, ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[4] Sementara itu Imam as-Suyuthi dalam bukunya yang
berjudul Mukhtashar al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an li al- Suyuthi, juga mengemukakan beberapa perbedaan pendapat mengenai
pengertian muhkam dan
mutasyabih (secara istilah) ini. Pertama, muhkam ialah ayat yang
maksudnya dapat diketahui, baik secara nyata
ataupun secara ta'wil, sedang mutasyabih ialah ayat yang hanya diketahui oleh
Allah seperti hari kiamat, munculnya dajjal dan potongan huruf-huruf hijaiah di
awal surat. Kedua, muhkam ialah ayat yang jelas
maknanya dan mutasyabih ialah ayat ayat
yang tidak jelas maknanya. Ketiga, muhkam ialah ayat yang hanya mengandung satu
pena'wilan dan mutasyabih ialah ayat
yang mengandung beberapa kemungkinan pena'wilan. Keempat, muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan mutasyabih ialah yang tidak sempurna pemahamannya kecuali dengan
merujuk kepada ayat yang lain. Kelima,
muhkam ialah ayat yang tidak dihapuskan dan mutasybih ialah ayat
yang sudah dihapuskan.[5]
B.
SEBAB-SEBAB TERJADINYA TASYABUH
Dengan bahasa yang cukup sederhana,
Hasbi ash-Shiddieqy mengungkapkan bahwa
yang menyebutkan munculnya tasyabuh adalah firman Allah dalam QS. Al-Imran (3): 7.
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur'an) kepada
kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi
Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian
ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Dalam ayat ini telah dinyatakan bahwasanya muhkam adalah imbangan mutasyabih, sebagaimana orang-orang rasikh (mendalam) ilmunya dalam
imbangan orang-orang yang ada
kesesatan dalam jiwanya. Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan
ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih.[6] Dalam konteks ini bisa dikatakan
sebagai sebab munculnya tasyabuh dalam Al-Qur'an.
C. PANDANGAN ULAMA MENGENAI AYAT-AYAT MUTASYABIH
Sebelum berbicara tentang pandangan dan sikap ulama terhadap ayat-ayat
mutasyabih, ada baiknya diterangkan
pula pandangan mereka terhadap keberadaan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Terhadap hal
ini, terdapat tiga pendapat.
Pertama, bahwa Al-Qur'an seluruhnya adalah
muhkam, mengingat firman Allah Hud (11): 1
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Kedua, bahwa Al-Qur'an seluruhnya adalah mutasyabih, mengingat firman Allah Az Zumar (39): 23:
Allah
telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada
seorang pun pemberi petunjuk baginya.
Ketiga, dan inilah yang
paling kuat, menyatakan bahwa Al-Qur'an itu ada yang muhkam dan ada pula
yang mutasyabih. Sebab, maksud uhkimat ayatuhu dalam ayat
tersebut di atas menjelaskan
tentang kesempurnaan Al-Qur'an dan tidak
adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Sedang maksud ayat mutasyabih dalam
ayat di atas menerangkan segi kesamaannya dalam kebenaran, kebaikan dan kemu'jizatan.[7]
Tidak
ada perselisihan pendapat terhadap makna ayat-ayat muhkam. Namun kebanyakan
ulama berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah sendiri.[8]
Lain lagi dengan
asy-Syirazi, beliau mengatakan bahwa tak ada sesuatupun dari ayat-ayat Al-Qur'an yang hanya
Allah sendiri yang mengetahui maknanya. Para ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya
Allah menyebut firmanNya ini pada ayat 7 surat Ali Imran dalam rangka menguji
para ulama. Andaikata mereka tidak
mengetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka dengan orang awam.[9]
Sementara itu, al-Raghib al-Ashfahani mengambil
jalan tengah dalam menghadapi masalah ini.
Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya ini kepada tiga bagian.
Pertama: Bagian yang tak ada jalan
mengetahuinya, seperti waktu terjadinya hari
kiamat, keluar binatang dari bumi dan sejenisnya.
Kedua: Sebagian manusia menemukan
sebab-sebab mengetahuinya, seperti
lafadh-lafadh yang ganjil dan hukum-hukum yang sulit.
Ketiga: Bagian
yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebagian ulama
yang rasikh ilmunya dan tidak diketahui oleh sebagian yang lain.[10]
Para ulama
memberikan contoh ayat-ayat mutasyabih dengan ayat-ayat tentang al-asma'
dan sifat-sifatNya.[11] Ada dua madzhab dikalangan para ulama yang berbeda pendapat dalam menghadapi
ayat-ayat mutasyabih tersebut, yaitu:
Pertama, Madzhab Salaf (para ulama di kalangan generasi
sahabat Nabi) yang mengimani sifat-sifat yang
mutasyabih dan menyerahkan makna dan pengertiannya
kepada Allah.[12] Mereka
mensucikan Allah dari makna
lahir kalimat-kalimat yang mutasyabih
karena makna harfiah demikian itu
mustahil bagi Allah. Mereka
mengimani sepenuhnya rahasia
kandungan firman Allah yang serupa
itu, dan mereka menyerahkan hakekat maknanya kepada Allah.
Kedua, Madzhab Khalaf (para ulama di
kalangan generasi berikutnya). Mereka menetapkan makna bagi lafadh-lafadh yang
menurut lahirnya mustahil bagi Allah dengan pengertian yang layak bagi dzat
Allah. [13]
E. AYAT-AYAT MUTASYABIH
& KETERANGAN TASYABUHNYA
Pada bagian ini, dapat
kami berikan beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih beserta sedikit
keterangan terhadap tasyabuh (kesamarannya).
Artinya: "(Allah) Yang Maha Pemurah bersemayam
di atas 'Arsy' (QS Thaha [20]: 5).
Kaum Salaf menanggapi ayat di atas dengan mengemukakan sebuah riwayat. Pada suatu hari
Imam Malik ditanya tentang makna istawa
(bersemayam). la menjawab:
"Lafadh istawa dapat dimengerti,
tentang bagaimananya tidak dapat
diketahui. Pertanyaan mengenai itu adalah bid'ah. Aku kira ia (orang yang
bertanya itu) berniat buruk." Kemudian ia memerintahkan sahabatnya, “Singkirkan dia dariku.”[14]
Ad-Darimi mengemukakan sebuah riwayat, berasal dari Sulaiman ibn Yassar. Bahwa seorang terkenal dengan nama Ibn
Shubaigh datang ke Madinah untuk menanyakan ayat-ayat Al-Qur'an yang
mutasyabihat. Khalifah Umar ibn Khaththab
kemudian memanggilnya dan sambil menunggu kedatangannya ia menyiapkan
sebatang tangkai mayang kurma. Setelah tiba, Khalifah Umar bertanya, "Engkau siapa?".
Orang itu menjawab, "Aku Abdullah ibn Shubaigh." tanpa berkata lebih jauh, Khalifah Umar memukul Abdullah dengan tangkai mayang yang sudah disiapkan hingga kepala
Abdullah berdarah. Menurut versi lain,
setelah itu Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Musa al-'Asy'ary (yang ketika itu menjabat selaku kepala daerah Basrah)
memerintahkan agar kaum muslimin jangan boleh bergaul dengan Abdullah ibn
Shubaigh.[15]
Dari kedua riwayat di atas, tampak jelas bahwa kaum Salaf
tidak menghendaki
adanya pemberian makna yang dikita-kira terhadap
ayat mutasyabih.
Sementara kaum Khalaf sendiri memberikan interpretasi terhadap istawaa (bersemayam)
dengan maha berkuasa menciptakan segala sesuatu tanpa susah payah.
Artinya: ”dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat
berbaris-baris”. (QS Al-Fajr [89]: 22).
Mereka kaum Khalaf mengartikan kedatangan Allah dengan kedatangan perintahNya.
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di
atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga,
sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia
diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak
melalaikan kewajibannya. (QS Al-An'am [6]: 61).
Kata fauqa (di atas) mereka
artikan ketinggian yang bukan arah dan jurusan.
Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas
kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku
sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah) (az-Zumar
(39): 56. Kata di sisiNya mereka artikan kewajiban
terhadapNya.
Artinya:”dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS Ar-Rahman [55]: 27). Wajah Allah diartikan Dzat
Allah
Yaitu:
'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil),
maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir`aun)
musuh-Ku dan musuhnya'. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang
datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di atas mataku (QS Thaha [20]: 39). MataKu diartiakan inayahKu (pertolonganKu).
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat
ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS Al-Fath
[48]: 10). Tangan Allah diartikan kekuatan.
Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu). Artinya:”dan Allah memperingatkan kamu terhadap diriNya.” (QS Ali Imran: 28). Diri-Nya
diartikan hukumanNya.[16]
F. HIKMAH AYAT-AYAT MUTASYABIH
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari adanya
ayat-ayat mutasyabih, di antaranya:
- Mengharuskan
upaya lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga dengan
demikian menambah pahala bagi yang berusaha untuk itu.
- Seandainya
Al-Qur'an seluruhnya muhkam niscaya hanya ada satu madzhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan yang
lain, selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut madzhab tidak
mau menerima dan memanfaatkannya.
Tetapi jika mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari penganut madzhab itu
akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka
semua penganut madzhab memperhatikan
dan memikirkannya. Jika mereka
terus menggalinya maka akhirnya
ayat-ayat yang muhkam menjadi
penafsir bagi ayat-ayat yang
mutasyabih.
- Apabila Al-Qur'an ada ayat-ayat mutasyabih, maka untuk memahaminya diperlukan cara
penafsiran dan tarjih antara satu dan
yang lainnya, selanjutnya hal
ini memerlukan berbagai ilmu,
seperti ilmu bahasa, gramatika, bayan,
ushul fiqih dan
lain sebagainya. Seandainya tidak
demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu tersebut.
- Al-Qur'an berisi
dakwah kepada orang-orang tertentu dan orang-orang umum.
Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu jika mereka
mendengar tentang sesuatu yang ada tetapi tidak berwujud fisik dan
berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak benar, kemudian ia terjerumus kepada ta'thil (peniadaan sifat Allah). Oleh sebab
itu sebaiknya mereka diajak bicara dengan bahasa yang menunjukkan kepada
orang yang sesuai dengan imajinasi dan khayalnya dan dipadukan dengan
kebenaran yang bersifat empirik.[17]
G. RINGKASAN
Ilmu muhkam dan mutasyabih bisa diartikan sebagai
cabang ulum Al-Qur'an yang berusaha memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat
muhkam dan mutasyabih. Terhadap
pengertian muhkam memang tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Mutasyabih (batasan secara istilah) ternyata mengundang banyak pendapat
para ulama. Bahkan Imam Suyuti sendiri berhasil mengimpulkan tidak kurang dari
lima komentar yang beliau sendiri tidak menjelaskan siapa yang melontarkannya.
Namun, terlepas dari itu
semua, sebagai insan akademik, kita mungkin sedikit bisa berkontemplasi.
Mencoba mengkomparasikan dari pendapat yang ada. Tidaklah mustahil akan memunculkan
batasan-batasan yang mungkin lebih representatif. Dengan
argumentasi-argumentasi yang logis pula, para ulama melontarkan pandangan
bahkan sikap yang terkesan diametral dan kontroversial terhadap ayat-ayat mutasyabih. Hal ini tampak pada sikap ulama Salaf yang cenderung menghindarkan diri dari memberikan ta'wil dan ulama Khalaf yang selalu berusaha memberikan pemaknaan yang sesuai dengan
otoritas ke-Maha-an-Nya. Akhirnya, memang Allah tidak pernah berbuat sesuatu
yang tanpa maksud dan tujuan. Sungguh Dia (Maha) terhindar dari perkara yang
tak lain dari sebuah kesia-siaan.
Al-Qur'an diturunkan sebagai
peringatan untuk manusia yang beriman.
Langit dan bumi beserta yang ada di antara keduanya, diciptakan untuk dimanfaatkan umat manusia. Demikian juga,
tak ada pula kesia-siaan Dia mengadakan ayat-ayat mutasyabih ini. Semoga kita tennasuk orang yang selalu berusaha mencari hikmah dibalik yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Manna' Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqeqy, Ilmu-ilmu Al-Qur an: Media-media Pokok
dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972.
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu
Al-Qur'an, Pustaka Firdaus, Cet. IV, Jakarta, 1993.
Suyuthi as, Imam, Apa Itu Al-Qur'an, Gema Insani Press, Jakarta,
1995.
Suyuthi as, Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur'an, Darul Fikri, Lebanon,
1979.
[1] M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu Al-Qur'an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan AI-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972, hal.166.
[2] Manna’
Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur an, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992, hal.302.
[6] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op
cit,. hal.167.
[8] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op
cit., hal. 168.
[10] Ibid.
[11] Manna' Khalil Qattan, op cit., hal.305.
[12] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu
Al-Qur'an, Pustaka Firdaus, Cet. Keempat,
Jakarta,
1993, hal. 375.
[16] Shubh al-Shalih, Op.cit., hal. 377.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya :) no SARA!