ILMU NUZULUL QUR'AN
Adalah
hikmah Allah swt bahwa wahyu diturunkan sejalan dengan keperluan yang dialai oleh Rasulullah saw dan untuk memberi
tahu beliau mengenaimasalah-masalah baru
yang terjadi setiap hari. Melalui wahyu, Allah memberi tuntunan serta petunjuk
dan memantapkan ketabahan serta menambah ketenangan beliau. DI samping
itu, wahyu diturunkan juga sejalan dengan keperluan yang dibutuhkan untuk mendidik para sahabat beliau,
memperbaiki adat kebiasaan dan menjawab
berbagai persoalan yang mereka alami.
A. PROSES TURUNNYA AL-QUR'AN
Pada
umumnya para ulama cenderung berpendapat bahwa Al-qur'an turun tiga kali: (1) mula-mula turun di Lauh Mahfudz, (2)
selanjutnya ke Baitul-`Izzah di langit
dunia (langit lapis pertama), (3) dan terakhir diturunkan secara terpisah dan berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa
tertentu. Al-Qur'an turun dari Lauh Mahfudz ke Baitul 'Izzah adalah sekaligus
pada malam Lailah al-Qadr. Beberapa dalil
untuk mendukung pendapat ini ialah:
1-
حم والكتاب المبين إنا أنزلناه في ليلة مباركة إنا كنا منذرين (الدخان(44): 1-3)
2-
إنا أنزلناه في ليلة القدروما أدراك ما ليلة القدر (القدر97: 1-2)
3-
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان (البقرة(2): 185)
Dan
tiga nash tersebut jelaslah bahwa al-Qur'an diturunkan pada satu malam yaitu malam lailatul Qadr. Turunnya ini dimaksudkan adalah turun yang
pertama kepada Baitul 'Izzah karena
kalau yang di maksud turun kali yang kedua , maka tidaklah absah bahwa dikatakan turunnya Al-Qur'an pada malam yang satu (Ramadhan), karena al-Qur'an itu diturunkan pada
masa yang panjang selama masa pengutusan (23 tahun), dan diturunkan pada
bulan Ramadhan yang merata pada
seluruh Ramadhan.
Di samping beberapa nash al-Qur'an di atas juga didukung oleh beberapa
hadis-hadis shahih, antara lain:
1-
عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: فصل القرأن من الذكر فوضع بيت العزة من السماء الدنيا فجعل جبريل ينزل به على النبى صلى الله عليه وسلم (رواه الحاكم)
2-
عن ابن عباس رضى الله عنهما قال: أنزل القرأن جملة واحدة الى السماء الدنيا وكان بمواقع النجوم وكان الله ينزله رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضه فى أثر بعض (رواه الحاكم والبيهقى)
3-
روى عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: أنزل القرأن فى ليلة القدر فى شهر رمضان الى السماء الدنيا جملة واحدة ثم أنزل نجوما (رواه الطبرانى) . يريد بقوله "مواقع النجوم" على تؤدة ورفق. وقوله "رسلا" أنه منجما مفرقا يتلو بعضه بعضا. وقوله " نجوما" اى أجزاء متفرقة.
Sedangkan
model kedua yaitu al-Qur'an turun berangsur-angsur, maksudnya ialah turun dari Baitul `Izzah ke dalam hati Nabi saw secara berangsur-angsur
selama 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah. Menurut
berbagai sumber riwayat setelah bi'tsah
Rasulullah hidup di Makkah selama 13 tahun, kemudian hijrah ke Madinah dan mukim di kota itu hingga akhir hayatnya , yakni 10 tahun. Begitulah al-Qur'an turun berangsur-angsur. Nabi saw membacanya perlahan-lahan, sedang para sahabat membacanya sedikit demi sedikit. Ayat-ayat
al-Qur'an diturunkan sehubungan dangan peristiwa, baIk
bersifat individual atau sosial. Adapun dalil
naqli bahwa al-Qur'an turun berangsur-angsur yaitu:
1.
وقرآنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيلا (الإسراء: 106)
2.
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)
B. HIKMAH TURUN AL-QUR'AN SECARA
BERANGSUR-ANGSUR (As-Shabuni, 1975:35)
(1) Meneguhkan dan menetapkan hati Nabi saw dalam
menghadapi penderitaan yang dilancarkan oleh
kaum musyrikin.
Pada suatu ketika orang-orang musyrik mengusulkan agar al-Qur-an itu diturunkan
sekaligus sebagaimana kitab-kitab samawi
sebelumnya. Oleh karena itu Allah
swt menolak usulan mereka dengan firmanNya Furqan
(25):32:
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)
Berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Terkadang jalan meringankan hati Nabi melalui cara
menceritaka kisah-kisah para Nabi agar Nabi saw
mengikuti kesabaran dan jihad mereka. Seperti firmanNya:
ولقد كذبت رسل من قبلك فصبروا على ما كذبوا وأوذوا حتى أتاهم نصرنا ولا مبدل لكلمات الله ولقد جاءك من نبإ المرسلين (الأنعام: 34)
فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ فهل يهلك إلا القوم الفاسقون (الأحقاف: 35)
Maka bersabarlah kamu
seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah
bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari
mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak
tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran
yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.
Atau dengan jalan menjanjikan pertolongan dan
menunjukkan kekuatan. Seperti firmanNya:
1.
وينصرك الله نصرا عزيزا (الفتح: 3)
2. ولقد سبقت كلمتنا لعبادنا المرسلين إنهم لهم المنصورون وإن جند نا لهم الغالبون (الصفات: 171-173)
Atau terkadang melalui cara menghabarkan kepada Rasulullah dengan kabar
mengalahkan musuh-musuhnya. Seperti:
قل للذين كفروا ستغلبون وتحشرون إلى جهنم وبئس المهاد (ال عمران: 12)
(2) Meringankan Rasulullah saw ketika wahyu turun, karena ayat-ayat
al-Qur'an itu sangat hebat.
Kalau al-Qur'an itu diturunkan
sekaligus tentu sangat memberatkan Nabi karena kehebatan al-Qur'an
itu. FirmanNya:
إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا (المزمل: 5)
لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون (الحشر: 21)
Diceritakan oleh `Aisyah ra bahwa ketika turun ayat al-Qur'an kepada Nabi di mana Nabi saw merasa sangat berat. Ketika
turun wahyu saya melihat, pada waktu itu hari
sangat dingin, namun dahi Nabi bercucuran keringat. Hat itu karena beratnya wahyu itu. (HR. Bukhari).
(3) Penetapan atau berangsur-angsur dalam tasyri' hukum.
Seperti halnya
mengharamkan minum khamr. Pada tahap pertama adalah menyuruh menjauhi daripadanya dengan cara tidak langsung. Firman-Nya
Nahl (16):67:
ومن ثمرات النخيل والأعناب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا إن في ذلك لآية لقوم يعقلون (النحل: 67)
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman
yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Dalam ayat tersebut memberitahukan bahwa Allah
memberi nikmat dengan dua hal yaitu
anggur dan kurma, yang dari keduanya
menghasilkan sesuatu yang memabukkan
(khamr) yang hal itu rizki yang baik dan memberi manfaat bag] manusia balk sebagai makanan maupun minuman. Yaitu pertamatama diberi pujian yaitu rizki yang baik, tetapi juga memberi gambaran
bahwa hal itu sesuatu yang
memabukkan dan menghilangkan akal manusia. Pada tahap kedua, yaitu suruhan agar
menjauhi secara langsung dengan cara memperbandingkan
dua akibat yaitu terdapat kemanfaatan secara material dan kemudaratan badan dan akal. Juga diterangka
tentang madorot yang besar yang menjurumuskan dan membinasakan kepada
manusia dengan cara jatuhnya seseorang
kepada perbuatan dosa besar. FirmanNya
Al-Baqarah (2): 219:
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو كذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرون
Yang di
maksud dengan "kemanfaatan" ialah kemanfaatan yang bersifat materi yang dapat diambil faedahnya dari
perdagangan dan jual bell khamr yang dapat menguntungkan. Dari perbandingan
antara kemanfaatan dan kamadorotan jelaslah
bahwa Islam menyuruh menjauhi khamr
dengan cara menerangkan kemadorotan yang bersifat jasmani sekalipun tidak
mengharamkannya. Pada tahap ketiga, dengan mengharamkan khamr tetapi hanya pada
waktu tertentu saja. FirmanNya Nisaa
(4):43:
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengharamkan khamr pada waktu shalat saja, selain itu tidak apa-apa. Telah diriwayatkan tentang asbab nuzulnya ayat ini yaitu ketika Abdunahman bin
Auf mengadakan walimah yang mengundang beberapa sahabat. Ali bin Abi
Thalib berkata : kami diundang dan kami diberi
minum khamr. Karena itu saya mengambilnya dan di antara kami. Kemudian
waktu shalat datang, dan mereka menunjuk saya menjadi imam shalat. Maka saya membaca ayat:
قل يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون ونحن نعبد ما عبدتم فنزلت الأية الكريمة...
Pada tahap keempat, dengan mengharamkan khame
secara keseluruhan dan secara qath'i. FirmanNya
Al-Maidah (5): 90-91
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
(4) Untuk
memudahkan menghafal al-Qur'an, memelihara, memahami dan memikirkannya.
Sementara ulama berpendapat, kalimat meneguhkan
hatinya dalam ayat 32-33 Surat al-Furqan
tidak punya makna lian kecuali menghafal semua ayat di dalam hati Rasul saw.
Mereka mengatakan: "beloau seorang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, karena itulah al-Qur'an turun berangsur-angsur agar
beliau mudah menghafalkannya. Lain hainya
dengan Nabi terdahulu, beberapa di antaranya ada yang dapat membaca dan
menulis, karena itu ada kemungkinan baginya
untuk menghafalisi semua kitab suci meskipun diturunkan sekaligus (alZarkasyi, 1957:1:231). Ibnu Furak menambahkan
penjelasan mengenai itu secara terinci. la mengatakan :"konon Taurat diturunkan secara
sekaligus, karena Nabi yang
menerimanya dapat membaca dan menulis, yaitu Nabi Musa as". Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak
dapat ditulis seketika karena is diturunkan kepada seorang Nabi yang tidak kenal baca
tulis (al-Zarkasyi, I, 1957:231).
(5) Perjalanan, kebutuhan atau kondisi
kejadian-kejadian kebutuhan.
Adapun turunnya disesuaikan dengan keperluan yang
dibutuhkan kaum mukminin pada saat itu. Di dalam al-Qur'an ditemukan
banyak macam bentuk dan coraknya, namun
semuanya bertemu pada satu titik tujuan yaitu memelihara dan memenuhi kebutuhan kaum mukmunin di dalam masyarakat bare
yang mulai berkembang tanpa
mengejutkan dengan perundang-undangan , kebiasaan-kebiasaan dan etika yang belum bisa mereka hayati sebelumnya (Subh
al-Shalih, 1977:62). Dalam riwayat Bukhari (Shahih Bukhari VI, t. :185) dijelaskan bahwa 'Aisyah mengatakan, bagian
al-Qur'an yang pertama-tama turun ialah sebuah surat terinci yang menyebut surga dan neraka. Setelah banyak
orang memeluk Islam turunlah ayat-ayat
mengenai halal haram. Kalau sekiranya yang pertama turun: "Jangan minum arak", mereka pasti menjawab: "kami tidak akan
meninggalkan arak selama-lamanya", dan kalau yang pertama itu
turun , "kalian jangan berzina", mereka tentu menjawab:"kami tak akan meninggalkan perzinaan selamalamanya". (as-Suyuti, 1, tt.:73).
(6) Memberi petunjuk kepada sumber al-Qur'an bahwa
dia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana.
Semua ayat-ayat al-Qur'an itu merupakan kalam Allah yang
tidak mungkin merupakan perkataan Nabi Muhammad saw dan tidak pula kalam
makhluk lainnya.
C. PEMELIHARAAN AL-QUR'AN DI MASA NABI SAW
AL-Qur'an menurut para ulama ialah sebagai kalam Allah swt yang diwahyukan kepada RasulNya (Muhammad saw) dan bagi
yang membacanya adalah ibadah (Manna
al-Qattan, 1973:21). DI samping itu kedatangan al-Qur'an adalah dengan jalan mutawatir sehingga memberi nilai qath'iyul wurud. Sejarah mencatat bahwa al-Qur'an itu
diwahyukan bukan kepada seorang yang pintar
baca tulis, tetapi kepada Rasul yang ummi dan kepada bangsa yang sebagian penduduknya buta huruf di
Jazirah Arab. Demikian juga kaum muslimin telah sepakat bahwa al-Qur'an sejak
masa Nabi saw sudah tertib ayat ayatnya, susunannya
maupun kalimat-kalimatnya serta huruf-hurufnya (Hanafi Ahmad, tt. :15).
Perlu juga ditambahkan
bahwa pada waktu al-Qur'an diturunkan, bangsa Arab
telah mengenal berbagai kesenian, keterampilan berkuda, kisah-kisah dan peribahasa dan dialek yang berlaku di kalangan
bangsa Arab itu. "Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan menggunakan bahasa
yang digunakan di kalangan bangsanya,
agar dia menjelaskannya kepada kita. (QS Ibrahim [14]:4) Dalam sejarah, kita melihat di masa Nabi saw telah
banyak sahabat Nabi yang hafal al-Qur'an seluruhnya. Oleh Subh Shalih yang
diambil dari riwayat Bukhari di
dalam shahihnya, tidak dapat mengatakan lebih kecuali jumlah para
sahabat yang hafal al-Qur'an pada hidupnya
Rasulullah tidak lebih dari tujuh orang. Tujuh orang itupun naman-namanya tidak
disebut secara beturut di dalam satu riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, tetapi tersebut dalam tiga buah
riwayat yang meninggalkan nama-nama
yang telah di sebut berulang-ulang.
Riwayat pertama berasal dari Abdullah bin 'Amar bin al-'Ash yang mengatakan sebagai berikut: Aku mendengar
Rasulullah bersabda: "Belajarlah alQur'an dari empat orang, 'Abdullah bin Mas’ud,
Salim, Mu'adz dan Ubai bin Ka' ab".
Riwayat kedua, berasal dari Qatadah yang mengatakan : Aku pernah bertanya pada Anas
bin Malik: "Siapakah sebenarnya para penghafal al-Qur'an pada masa hidup Rasulullah?". Anas menjawab:"Empat
orang semuanya dari kaum Anshar, yaitu
Ubai bin Ka'ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan
Abu Zaid". Aku bertanya
lagi: Siapakah Abu Zaid? Anas menjawab: "Seorang dari kaum muslimin awam".
Riwayat ketiga, dikemukakan oleh Tsabit berasal
dari Anas bin Malik yang mengatakan sebagai
berikut: Ketika Rasulullah wafat belum ada yang hafal al-Qur'an kecuali empat orang, yaitu Abu Darda', Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Menurut Blachere (orientalis) bahwa ketujuh orang itu ialah 'Abdullah bin Mas'ud,
Salim bin Ma'qal anak asuh Abu Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin as-Sakhn dan
Abu Darda'. Pada bagian lain
Blachere menyebutkan ada satu salah nama yang tidak disebutkan dalam riwayat
Bukhari tersebut padahal dia adalah penghafal al-Qur'an dan terkenal julukan alQari yaitu Sa'id bin
Ubaid.
Subh al-Shalih menyimpulkan bahwa sebenarnya masih banyak yang hafal
al-Qur'an sepeninggal Nabi saw yang termasuk jajaran ahli qiraat, yaitu: empat orang khalifah (Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali ra), Thalhah, Sa'ad, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah, Salim Abu Hurairah, Abdullah bin Sa'ib,
abdullah bin Amar bin al-Ash, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Zubair, Aisyah, Hafhsah, dan Umu Salamah. Mereka itu semuanya dan kaum Muhajirin. Sedang dan kaum Anshar: Ubadah bin As-Shamit, Mu'adz julukannya bernama
Abu Halimah (bukan Mu'adz
bin Jabal), Majma' bin Jariyah, Fadhalah bin Ubaid, Maslamah bin Mukhallad. Sebenarnya masih banyak lagi yang menghimpun
al-Qur'an di dada masing-masing,
menghafalnya dengan sangat banyak, tetapi mereka itu tidak sempat diuji ketepatan hafalannya di hadapan
Rasulullah saw.
Nabi
saw tidak pandai baca tulis karena itu dia menyuruh para sahabat untuk menuliskan wahyu Allah setiap Nabi saw menerimanya.
(al-Ibyari, 1964:47). Sebagaimana
kita ketahui, Rasulullah mempunyai beberapa pencatat wahyu, di antaranya, empat oramg sahabat yaang
akhirnya menjadi Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin
Walid, Ubai bin Ka'ab, Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap
wahyu yang turun, sehingga al-Qur'an yang terhimpun di dalam dada
menjadi kenyataan yang tertulis. (Subh al-Shalih,
1977:69). Namun sekalipun telah dihafalkan dan dituliskan seluruh al-Qur'an
pada masa Nabi, tetapi masih belum terkumpul dalam satu mushaf atau satu tempat dan tidak pula tersusun surat-suratnya
secara tertib. (as-Suyuti, 1979:59).
Para sahabat menuliskan ayat itu pada lempengan
kulit, daun, batu-batuan yang tipis, yang lebar, pelepah kurma, tulang-tulang
unta atau kibas yang sudah kering, pelana unta serta pada kulit. (Subh al-Shalih, 1977:70; as-Suyuti, 1979:60).
Seluruh al-Qur'an itu
tidak mungkin ada kalimat atau kata yang disisipkan Nabi saw atau dituliskannya karena tidaklah pantas sifat seorang Nabi
seperti itu. Di samping itu
adalah ummi. Seperti para ahli sejarah menyebutkan kajadia pada perang uhud. Pada waktu itu Abbas berada di
Makkah dan menulis surat kepada Nabi
saw dan surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki dari Bani Ghifari. Isi surat
itu memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersepakat untuk keluar dari Makkah menuju perang Uhud. Ketika Nabi saw menerima
surat tersebut, beliau memanggil Ubai
bin Ka'ab (sekretaris Nabi saw) untuk membacanya.
Setelah Ubay selesai membaca surat tersebut, Nabi menyuruh Ubai untuk merahasiakan isi surat tersebut. (Ibyari,
1964:48). Sekiranya Nabi pandai tulis baca tentu tidak perlu beliau minta bantuan untuk membacakan surat tersebut, apalagi kandungan surat itu sangat
penting dan bersifat rahasia. Sebagaimana telah disebutkan bahwa tartib
ayat-ayat al-Qur'an itu adalah menurut petunjuk
Nabi saw (tauqify). Nabi saw bisa membaca satu surat berulang-ulang dengan
tertib ayat-ayatnya baik dalam
shalat maupun pada waktu beliau berkhutbah
dan disaksikan oleh para sahabatnya. Ini menunjukkan tartib ayat-ayat al-Qur'an adalah tauqify (Subh al-Shalih,
1977:71). Kalau tidak tauqify, tentu Nabi
saw dalam membacakan ayat-ayat al-Qur'an tidak perlu tartib. Kita tahu bahwa dalam satu surat bukanlah membicarakan satu jenis masalah. Kadang-kadang beberapa ayat membicarakan satu
jenis permasalahannya, kemudian beralih ke masalah yang lain, lalu kembali lagi
ke masalah semula. Demikian juga ayat yang lebih awal turun ditempatkan pada
awal al-Qur'an atau yang akhir turun ditempatkan pada awal dari al-Qur'an,
seperti QS Al-Baqarah [2]:281 adalah akhir turunnya ayat al-Qur'an (Ibyari, 1964:62). Dan Nabi saw
menempatkannya di antara dua ayat "riba dan dain" dari surat
al-Baqarah. Seperti itu juga sekalian ayat al-Qur'an (Subh al-Shalih, 1977:71; Ibyari, 1964:67).
Mengenai susunan surat yang sekarang ini, apakad
berdasarkan tauqify atau tidak, ada beberapa
pendapat:
1.
Susunan surat itu
berdasarkan ijtihad para sahabat. Karena susunan surat pada mushaf sahabat sebelum penulisan pada
Khalifah Usman berbeda-beda. Kalau susunan itu atas petunjuk Nabi saw, niscaya mereka mematuhi Nabi saw.
2.
Berdasarkan tauqify
sebagaimana susunan ayat. Karena seluruh ayat-ayat alQur'an ditempatkan sesuai
dengan perintah Nabi saw dengan alasan (1) bahwa semua sahabat telah sepakat
terhadap susunan surat dalam mushaf yang ditulis pada Khalifah Usman dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Kesepakatan itu terjadi tidak lain karena berdasarkan tauqify. Sekiranya
susunan surat dalam mushaf Usman
itu berdasarkan ijtihad, tentu para sahabat yang mempunyai mushaf sendiri tetap
mempertahankannya, yang susunannya berbeda dengan mushaf Usman. Kenyatannya
mereka tidak mempertahankannya, tetapi
menerima mushaf Usman, bahkan membakar mushaf mereka sendiri (2) bahwa
keadaan surat-surat yang sejenis dalam al-Qur'an itu tidak
senantiasa disusun secara urut (3)
bahwa Ibnu Asyta dalam al-Mashahifnya meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahab dari Sulaiman bin Bilal,
dia berkata: Saya mendengar Rabiah
ditanya: "mengapa engkau mendahulukan surat al-Baqarah dan Ali Imran dalam
susunannya, sedangkan sebelum kedua surat itu turun, telah ada delapan puluh
surat lebih yang turun di Makkah dan al-Baqarah serta Ali Imran keduanya turun di Madinah". Kemudian dia
menjawab:" al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan dalam susunannya
dan al-Qur'an disusun atas ilmu dari yang telah menyusunnya".
3.
Bahwa susunan
surat-surat dalam al-Qur'an itu berdasarkan tauqify, dan sebagian yang lain
berdasarkan ijtihad sahabat (al-Zarkasyi, tt.:353-8; as-Suyuti, 1979:64).
Pendapat kedua yaitu al-Qur'an baik ayat-ayatnya
maupun susunan suratsuratnya adalah
berdasarkan tauqify. Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan,
juga dapat kita kutip pendapat Subh al-Shalih, (4) bahwa susunan surat al-Qur'an itu tauqify karena al-Qur'an telah
lengkap sepeniggal Nabi saw sehingga
usaha-usaha sahabat yang selain Usman, maka hal itu merupakan ikhtiar sahabat itu sendiri. Mereka tidak bermaksud atau
berusaha agar seseorang mengikuti tertib surat yang berada dalam mushaf mereka.
Tidak juga mereka mengatakan bahwa
menyalahi mushaf mereka dilarang. Mereka menulis mushaf untuk mereka sendiri sehingga
setelah umat Islam sepakat terhadap tertib surat yang ditulis oleh panitia
adhoc yang dibentuk Khalifah Usman, mereka mengambilnya dan meninggalkan mushaf-mushaf mereka. Sekiranya mereka berpendapat bahwa tertib surat itu ijtihadi, tentu
mereka tetap berpegang kepada mushaf
mereka dan tidak perlu mengambil mushaf Khalifah Usman (Subh al-Shalih, 1977:71). Perlu ditambahkan bahwa Zaid bin Tsabit (ketua panitia) sebagai pengkodifikasinya adalah
seorang yang hafal al-Qur'an seluruhnya
dan dia hadir pada waktu kali yang terakhir Jibril as datang untuk mengecek al-Qur'an yang
dihafalkan oleh Rasulullah saw
sehingga adanya perbedaan tertib surat yang ada di tangan para
sahabat semata-mata karena perbedaan kedekatan mengikuti Nabi saw, seperti
Ali bin Abi Thalib, dan sahabat yang
lain kadang-kadang dapat mengikuti
Nabi dan kadang-kadang tidak. Demikian
juga kalau kita lihat begitu rapinya susunan surat, maka tidak mungkin para sahabat berfikir untuk menyusunnya dalam
waktu yang relatif singkat sedang keadaan
pada waktu itu dilanda oleh situasi yang tidak stabil (perang).
Ada riwayat yang sebenarnya lemah, yaitu terdapat
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (Jilid 1:331).
Hadis itu ialah jawaban Usman bin Affan kepada Ibnu Abbas yang mengungkapkan
alasan penempatan surat al-tiara an
(at-Taubah) tanpa diawali basmalah
sesudah surat al-Anfal: "Surat al-Anfal termasuk surat-surat pertama yang turun di
Madinah, sedangkan al-Bara'ah turun belakangan. Kisah yang ada dalam surat
al-Bara'ah serupa dengan kisah yang tercantum dalam surat al-Anfal. Sampai saat
Rasulullah wafat tidak dijelaskan bahwa surat al-Bara'ah adalah bagian dari
surat al-Anfal. Aku mengira surat al-Bara'ah
itu merupakan bagian surat al-Anfal,
karenanya dua surat tersebut kutempatkan berdampingan... " dan seterusnya. Menurut Ahmad Muhammad Syakir, sebenamya hadis tersebut sangat lemah, bahkan tidak jelas asal dan sumbernya,
sedang isnad dan riwayatnya hanya berputar di sekitar orang yang bernama Yazid al-Farisi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Bukhari memasukkan Yazid al-Farisi ke dalam daftar kaum perawi hadis dha'if (lemah). Hadis riwayat satu orang, sulit diterima.
Apalagi mengandung unsur yang meragukan keyakinan umat
sebagaimana halnya dengan penyusunan surat,
bacaan maupun penulisannya di dalam mushaf Hadis yang dimaksud juga meragukan kepastian adanya Basmalah pada setiap awal surat sehinggan timbul kesan seolah-olah Usman bin Affan menetapkan atau meniadakan Basmalah itu menurut pendapatnya
sendiri. Sungguh sulit dipercaya hal itu bisa terjadi.
Karena itu tidaklah salah kalau kami mengatakan:"hadis itu tidak karuan
asalnya". (Tanggapan tentang hadis tersebut, lihat Musnad Ahmad bin Hanbal I, hat. 330).
Sebagian besar ulama berpendapat, bahwa penghimpunan
ayat-ayat semasa hidup Rasulullah telah
dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup "tujuh huruf' yang menjadi landasan turunnya al-Qur'an.
Sesungguhnya, setiap ayat yang dicatat disimpan di rumah Rasulullah, sedang para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga terjadilah saling kontrol antara naskah yang
berada di tangan para pencatat wahyu itu dan suhuf (lembaran-lembaran
al-Qur'an) yang berada di rumah Rasulullah saw.
Di samping itu ada kontrol
lain dari para penghafal al-Qur'an di kalangan sahabat Nabi saw, baik yang buta huruf maupun tidak. Keadaan
itulah yang menjamin al-Qur'an tetap terjaga
dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون (الحجر: 9)
"Kamilah yang menurunkan al-Qur'an dan Kami (jugalah) yang
menjaganya"
D. KODIFIKASI AL-QUR'AN PADA MASA ABU BAKAR RA.
Penulisan al-Qur'an bukan soal baru, karena Rasulullah sendiri
telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang unta dan
kambing yang kering, atau pada pelepah
kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah
naskah, juga naskah al-Qur'an yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah saw saat
itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.
Pada tahun 12 H
terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kaum murtad (pengikut Musailimah al-Kazzab)
yang dinamakan peperangan "Yamamah",
di mana 70 penghafal al-Qur'an mati syahid. Melihat banyaknya penghafal al-Qur'an itu gugur, maka Umar bin
Khaththab meminta kepada Abu Bakar agar ayat-ayat al-Qur'an dikumpulkan. Dalam
shaheh Bukhari disebutkan bahwa Zaid
bin Tsabit mengatakan: Bahwa Abu Bakar memberi tahu kepadaku tentang orang-orang yang mati syahid dalam
peperangan Yamamah, lalu akupun datang
kepada Abu Bakar. Secara bersamaan Umar ada di tempat itu. Abu Bakar berkata: Bahwa Umar datang kepadaku yang
menerangkan bahwa peperangan Yamamah
telah membawa korban para qurra' dan ia
khawatir para qurra' (penghafal al-Qur'an) itu habis oleh peperangan
yang menyebabkan hilangnya alQur'an. Apakah
anda menyuruh saya mengumpulkan al-Qur'an? Saya menjawab: Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak
dilaksanakan Rasul? Umar berkata: Ini
(pengumpulan al-Qur'an), demi Allah merupakan pekerjaan yang baik. Umar terus menerus meminta pendapatku dan mengulanginya
agar aku mengumpulkan al-Qur'an,
sehingga Allah melapangkan dadaku untuk mengambil inisiatif dan saya sependapat dengan Umar. Kata Zaid bin Tsabit
kembali, bahwa Abu Bakar berkata kepadaku: Bahwasanya engkau wahai Zaid, seorang pemuda yang berakal. Kami tidak meragukan keahlian dan agamamu dalam penulisan al-Qur'an. Engaku seorang penulis wahyu di masa
Rasulullah maka periksalah alQur'an, kemudian kumpulkan dan satukanlah! Zaid menjawab: demi Allah sekiranya mereka memberi
beban kepadaku memindahkan salah satu gunung di antara gunung-gunung itu, tadaklah yang demikian itu lebih berat dari pada disuruh mengumpulkan dan menyatukan al-Qur'an. Saya
meneruskan, bagaimana kamu bisa kerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi saw? Abu Bakar menjawab: "Demi Allah ini suatu perbuatan yang
baik". Maka Abu Bakar selalu menyuruhku
untuk mengerjakannya, barulah hatiku dilapangkan oleh Tuhan. Maka aku memeriksa al-Qur'an dan mengumpulkan
lempengan-lempengan dari pelepah kurma, dari batu, dari para penghafalnya.
Setelah saya melaksanakan, sampai saya
mendapatkan akhir surat Taubah dari seorang Anshar yang bemama Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku dapatkan
kecuali bagi dia. Ayat itu ialah:
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم (التوبة: 128-129)
"Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sanat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka
katakanlah:" Cukuplah Allah
bagiu, tidak ada Tuhan selain Dia.
Hanya kepadaNya aku bertawakal, dan Dia
adalah Tuhan yang memilik] `Arsy
yang agung ". (At-Taubah : 128-129).
Mushaf yang ditulis itu berada di rumah Abu Bakar sampai akhir hayatnya, kemudian berpindah ke rumah Khalifah Umar selama
hidupnya dan akhirnya berada di rumah Hafshah
binti Umar (Subh al-Shalih, 1977:75). Alasan kenapa Hafshah yang menyimpan
mushaf itu bukan di rumah Khalifah Usman ialah (1) Hafshah itu istri Rasulullah dan anak khalifah (2) Hafshah itu seorang
yang pandai tulis baca (Subh al-Shalih,
1977:77). Di sini timbul pertanyaan, kenapa tidak di rumah seperti rumah
Siti Aisyah yang juga istri Rasulullah
dan juga anak khalifah dan pandai tulis baca, atau istri lainnya? Mungkin alasan yang lebih tepat kenapa di rumah
Hafshah ialah (1) diduga setelah Nabi saw wafat, Hafshah serumah dengan Umar,
(2) kemungkinan administrasi waktu
itu belum teratur, sehingga Khalifah Usman segan mengambilnya dari rumah Hafshah.
Berbagai
riwayat yang tidak shaheh mengomentari tentang siapa yang mula-mula menempuh
kebijaksanaan pertama pengumpulan al-Qur'an itu dari berbagai lempengan-lempengan. Ada yang mengatakan Ali bin Abi Thalib, ada pula yang mengatakan Umar. Namun yang paling banyak riwayat mengatakan bahwa Abu Bakarlah yang pertama-tama mengambil
inisiatif pengumpulan al-"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sanat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka
berpaling (dari keimanan), maka katakanlah:" Cukuplah Allah bagiu, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memilik] `Arsy yang agung ". (At-Taubah : 128-129). Mushaf yang ditulis itu berada di
rumah Abu Bakar sampai akhir
hayatnya, kemudian berpindah ke
rumah Khalifah Umar selama hidupnya dan akhirnya berada di rumah Hafshah binti Umar. (Subh al-Shalih, 1977:75). Alasan
kenapa Hafshah yang menyimpan mushaf itu bukan di rumah Khalifah Usman ialah (1) Hafshah itu istri Rasulullah dan
anak khalifah (2) Hafshah itu seorang yang
pandai tulis baca (Subh al-Shalih,
1977:77). Di sini timbul pertanyaan, kenapa tidak di rumah seperti rumah
Siti Aisyah yang juga istri Rasulullah
dan juga anak khalifah dan pandai tulis baca, atau istri lainnya? Mungkin alasan yang lebih tepat kenapa di rumah
Hafshah ialah (1) didiga setelah Nabi saw wafat, Hafshah serumah dengan Umar,
(2) kemungkinan administrasi waktu
itu belum rapt, sehingga Khalifah Usman segan mengambilnya dari rumah Hafshah.
Berbagai
riwayat yang tidak shaheh mengomentan tentang siapa yang mula-mula menempuh
kebijaksanaan pertama pengumpulan al-Qur'an itu dari berbagai lempengan-lempengan. Ada yang mengatakan All bin Abi Thalib, ada pula yang mengatakan Umar. Namun yang paling banyak riwayat mengatakan bahwa Abu Bakarlah yang pertama-tama mengambil
inisiatif pengumpulan al-mereka, yang diambil dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Yahya berkata: Dia datang kepada Umar, maka Umar berkata:"Siapa yang mendapatkan
sesuatu al-Qur'an, yang datang dari Nabi,
hendaklah ia melaporkannya". Para sahabat meniliskannya dalam shuhuf,
lempengan-lempengan, pelepah kurma. Tetapi
tidak akan diterima sesuatu yang dibawa
itu sehingga ia dapat mendatangkan dua saksi (Subh al-Shalih, 1977:7576). AI-Sakhawi menjawab, bahwa
yang dimaksud dua saksi itu ialah pada waktu penulisan
al-Qur'an dihadapan Rasulullah (Subh al-Shalih, 1977:76). Dengan demikian
sekalipun hanya Abu Huzaimah yang mendapatkan akhir surat Taubah secara tertulis, namun sudah mutawatir ayat
tersebut di sisi kebanyakan sahabat yang
mereka menyatakan hafal ayat itu. Maka pernyataan hafalan secara mutawatir
adalah menempati dua saksi karena ayat tersebut telah ditulis di hadapan Rasulullah saw.
Zaid bin Tsabit sangat berhati-hati dalam
menjalankan tugas ini, sekalipun is seorang penulis wahyu
yang utama dan hafal seluruh al-Qur'an. la dalam menjalankan tugasnya berpegang pada dua macam,
yaitu:
1.
Ayat-ayat al-Qur'an yang
ditulis di hadapan Nabi dan yang
disimpan di rumah Nabi.
2.
Ayat-ayat yang dihafal
oleh para sahabat yang hafal al-Qur'an.
Sehingga maksud "sumpah" dalam penerimaan ayat-ayat al-Qur'an
ialah bahwa ayat-ayat tersebut benar-banar
ditulis di hadapan Nabi atas perintah dan petunjuknya, yang disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Ada beberapa hal yang penting dalam masa Abu
Bakar al- Shiddiqiy, yaitu:
1.
Motif Abu Bakar mengumpulkan al-Qur'an
semata-mata pekerjaan yang dianggap mulia
karena untuk menghindari adanya perubahan dalam al-Qur'an. Kehilangan atau
perubahan al-Qur'an itu bisa saja terjadi karena semakin lama semakin
banyak Qurra' yang mati syahid. Padahal hafalan itu sebagai sumber terpenting pada masa pengumpulan al-Qur'an, di samping bukti tertulis.
2.
Keberatan Abu Bakar pada
awalnya untuk mengumpulkan bukan berarti karena
sulitnya mencari sumber-sumber tertulis, tetapi karena tidak ada nash yang menyuruhnya, di samping pada waktu itu
pemerintahannya dihadapkan kepada
para murtad dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Konsekwensinya, membuat Abu Bakar sangat berhati-hati
menerima tilusan ayat-ayat al-Qur'an dari
para penulisnya dan selalu tulisan itu disesuaikan dengan hafalan para sahabat.
E. MASA KHALIFAH USMAN BIN AFFAN
Beberapa
tahun berlalu dari pemerintahannya timbullah beberapa penggerak supaya meninjau kembali mushaf yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab
shahehnya dari Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik menceritakan bahwa Huzaifah bin al-Tamam datang kepada Usman setelah memerangi penduduk Syam dalam penaklukan Armenia
dan Azerbaijan, bersama-sama penduduk Irak. Huzaifah melihat hebatnya
perselisihan antara mereka itu dalam
soal qira'at. Huzaifah meminta Usman segera memperbaiki keadaan ini, segera menghilangkan perselisihan bacaan, agar
umat Islam jangan berselisih mengenai
kitab mereka, sebagaimana perselisihan orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Maka Usman
meminta Hafshah supaya memberikan mushaf yang ada padanya agar disalin ke beberapa mushaf. Sesudah
disalin, akan dikembalikan mushaf itu kepadanya. Setelah mushaf diterima
Usman, beliaupun menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa'id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalin dari mushaf itu menjadi beberapa
mushaf Pedoman yang diberikan pada panitia
itu ialah apabila terjadi perselisihan qira'at antara Zaid bin Tsabit (kaum Anshar, penduduk Madinah), dengan
temannya yang tiga itu, (dari suku
Quraisy, penduduk Makkah, kaum Muhajirin) hendaklah ditulis menurut qira'at
orang Quraisy, karena al-Qur'an itu diturunkan dengan lisan mereka. Panitia
itupun mulai melakukan tugasnya pada tahun 25 H. Setelah
selesai pekerjaan mereka, mushaf itu
dikembalikan kepada Hafshah dan Usmanpun mengirimkan ke setiap kota-kota besar Islam serta memerintahkan supaya membakar setiap shahifah atau mushaf yang lain dari
tulisan yang beranggotakan empat
orang tersebut. (Subh al-Shalih, 1977:78; Suyuti, 1979:102). Dalam satu riwayat dikatakan beranggotakan 12 orang. (Abd
Shabir Syahin, 1966:115).
Marwan
bin Hakam seorang Khalifah dari Dinasti Umayyah (w. 65 H) pernah meminta Hafshah agar shuhufnya dibakar,
tetapi ditolak oleh Hafshah. Baru setelah Hafshah
wafat, shuhufnya itu diambil oleh Marwan dan kemudian dibakarnya. Tindakan Marawan ini katanya terpaksa dilakukan, demi untuk mengamankan
keseragaman mushaf al-Qur'an yang
telah diusahakan oleh Khalifah Usman
dengan menyalin seluruh isi shuhuf Hafshah ke dalam mushaf Usman. Dan lagi untuk menghindari keragu-raguan
umat Islam di masa yang akan datang
terhadap mushaf al-Qur'an, jika masih terdapat dua macam naskah (shuhuf Hafshah dan mushaf Usman).
Menurut Ibnu Hajar dan dikuatkan oleh Subh al-Shalih bahwa panitia yang diketuai oleh Zaid itu dapat menyelesaikan
tugasnya pada tahun 25 H. Orang berbeda pendapat
mengenai jumlah mushaf yang dikirim Khalifah Usman ke berbagai daerah Islam. Abu Am ad-Dani (Usman bin
Sa'id Abu Amr ad-Dani), di dalam
al-Mugni mengatakan "sebagian besar ahli riwayat mengatakan bahwa Usman
mereproduksi mushaf Hafshah menjadi empat naskah. Tiga naskah dikirim ke Kufah, Bashrah
dan Syam masing-masing satu naskah. Satu naskah sisanya disimpan Usman sendiri. Akan tetapi ada pula sebagian ulama ahli riwayat
yang mengatakan, naskah salinan berjumlah tujuh buah. Kecuali dikirim ke tiga daerah tersebut, tiga naskah sisanya
dikirim ke Makkah, Yaman dan Bahrein.
Namun riwayat pertamalah yang benar. Demikian pendapat ulama (alZarkasyi,1:240).
Mengenai
motif Usman bin Affan, dapat juga kita lihat riwayat Ibnu Jarir ath-Thabari, dari Abu Qilabah, dia berkata: Pada
masa pemerintahan Usman, seorang guru mengajar muridnya dengan bacaan tertentu, begitu juga guru lainnya. Satu
ketika para murid bertemu dan berselisih pendapat tentang bacaan al-Qur'an. Akhirnya mereka angkat masalah tersebut
kepada para ustadz. Karena perbedaan bacaan, sampai ada di antara mereka
mengkafirkan golongan lain karena
memiliki bacaan berbeda dengan bacaan mereka. Masalah tersebut sampai kepada Usman, dan beliau berkhutbah; "kamu berselisih pendapat dan mempermasalahkan
bacaan orang lain. Maka barang siapa di antara penduduk menjauhi dari saya maka akan bertambah pula
perselisihan dan kesalahan. Bersatulah
wahai pengikut Muhammad, maka tulislah al-Qur'an itu untuk umat manusia sebagai pedoman. (Suyuti, 1979:61).
Seperti halnya penduduk Dimsyiq mengambil bacaannya dari Migdad bin Aswad,
penduduk Kufah dari Abdullah bin
Mas'ud. (Ahmad adil Kamal, tt.:42).
Ada lima hal yang sangat penting yang diambil dari
hadis Bukhari dari Anas
bin Malik tentang penulisan al-Qur'an pada masa
Usman, yaitu:
1.
Perselisihan kaum muslimin tentang bacan
al-Qur'an merupakan faktor yang pokok
adanya perintah Usman meminjam mushaf Hafshah untuk ditulis dalam beberapa mushaf.
2.
Panitia yang diberi tugas
berjumlah empat orang.
3.
Oleh panitia,
menjadikan mushaf Hafshah sebagai pokok dalam penulisan al-Qur'an. Berati juga berpedoman pada mushaf asli dari
Abu Bakar.
4.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara
Zaid bin Tsabit dengan yang tiga lagi, maka ambillah bahasa Quraisy karena
al-Qur'an diturunkan dengan bahasa
Quraisy.
5.
Dan bahwa Usman mengirimkan ke setiap kota
besar Islam satu mushaf dari hasil penulisan panitia tersebut, dan yang
berlainan dengan mushaf Imam tersebut disuruh agar dibakar (Subh al-Shalih, 1977:79-80).
Sekalipun kaum muslimin telah
sepakat bahwa al-Qur'an yang ditulis pada Usman
itulah sebagai pedoman dalam membaca al-Qur'an namun ada juga sahabat yang tidak mau membakar mushafnya. Seperti
pada mushaf Abdullah bin Mas'ud, dia
tidak mau membakar mushafnya pada awal perintah pembakaran. Kemudian Tuhan memberi ilham padanya agar mentaati
pemikiran Usman yang pada hakekatnya
merupakan pendapat umat Islam seluruhnya. (Subh al-Shalih, 1977:83).
Kodifikasi al-Qur'an pada masa Nabi SAW, Abu Bakar dan Usman ada nuansa
penekanan-penekanan yaitu: Pada masa Nabi saw di mana
penulisan ayat dan surat berarti menulis ayat dan mengurutkan dan meletakkan pada
tempatnya yang tertentu dalam surat, yang
masih terserak-serak pada lempengan-lempengan, sesuai dengan fasilitas penulisan
pada waktu itu. Tujuan penulisan
ialah menambah kepercayaan pada
al-Qur'an dan bahwasanya pegangan pokok pada waktu itu ialah pada
hafalan dan tulisan, sekalipun ditentukan pada hafalan. Kodifikasi pada waktu
Abu Bakar berarti penukilan al-Qur'an dan menulisnya pada mushaf secara berurutan, juga ayat-ayatnya,
memuat ayat-ayat yang sudah dipercayai
bacaannya dengan jalan mutawatir. Tujuannya ialah mengaitkan al-Qur'an dengan tulisan seutuhnya dan berurutan,
menghindari kekhawatiran hilangnya
sesuatu dengan wafatnya para penghafal al-Qur'an.
Sedangkan pada Usman ialah menulis semua yang
tercantum dalam mushaf Hafshah itu pada
satu mushaf (mushaf Imam) dan menghapus mushaf-mushaf yang berbeda dengan mushaf Imam, mengirim beberapa mushaf ke kotakota besar Uslam. (Salbi, Abd al-Fatah Ismail,
1960:10). Tujuan penulisan ialah menghindari perselisihan bacaan al-Qur'an, menyatukan bacaannya, dan memelihara al-Qur'an agar tetap asli.
Ibnu al-Thin dan yang lainnya berpendapat bahwa letak perbedaan
penulisan pada masa Abu Bakar dan Usman ialah kalau pada masa Abu Bakar penulisan dilakukan karena takut hilang sesuatu dan
al-Qur'an disebabkan hilangnya para penghafalal-Qur'an itu sehingga pada masa ini terkumpullah al-Qur'an
dalam satu mushaf yang tertib ayat-ayatnya, surat-suratnya sesuai dengan
petunjuk Nabi saw. Sedangkan pada masa Usman karena banyak
perselisihan di antara kaum muslimin, karena berlainan bacaan al-Qur'an sehingga menghawatirkan
khalifah, persoalan ini semakin membahayakan kaum
muslimin. Maka khalifah menulis mushaf itu melalui
panitia, menjadi satu mushaf yang resmi dengan pedoman pada bahasa Quraisy, karena al-Qur'an itu diturunkan
dengan bahasa Quraisy (Suyuti,
1979:61). Maka pada masa Usman, telah tertib ayat-ayat al-Qur'an, kalimatnya,
hurufnya, sehingga dengan tertib itu al-Qur'an akan terhindar dari taqdim dan ta'khir, penambahan dan pengurangan
serta tabdil (Salbi, 1960:12).
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Shabir
Syahin, Tarikh al-Qur'an, Dar al-Qur'an, Kairo, 1966. Ahmad Add Kamal, Uluum al-Qur'an, al-Mukhtar al-Islaaiy, Kairo, tt.
Ahmad al-Syarbasi, Tarikh al-Tafsir al-Qur'an, (terj),
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985.
Departemen
Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur'an, Jakarta, 1974.
Hanafi, Ahmad, al-Tafsiir al-Ilm lil Ayaat al-Kauniyah fi al-Qur'an, Daar alMa'arif, Mesir, tt.
Hasan Muhammad Musa, Qamus Qur'ani, Maktabah Khalil Ibrahim, Iskandariyah, 1966.
Hasbi ash-Shiddigy, Jlmu-ilmu al-Qur'an, Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur'an, Bulan Bintang,
Jakarta, 1972.
Ibyari, Ibrahim, "Tarikh al-Qur'an, Daar al-Qalm, Kairo, 1384 H/ 1964 M.
Loeis Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A 'lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1986.
Manna
al-Qaththan, Mabahits fi Uluum
al-Qur'an, Mansyurah al-Ashr
al-Hadis, Riyad, tt.
Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin, Ushul fi al-Tafsir, (terj ), Dina Utama, Semarang, 1989.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu jam al-Mufakhras li al-Fact al-Qur'an alKarim, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1987.
Muhammad Gulam Muhammad bin Muhyidin Umar al-Aslami, al-Buhuls alIslamiyah, Riyadh, 1404 H.
Muhammad Husein adz-Dzahabi, Penyimpangan penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, (terj),
Rajawali, Jakarta, 1986.
Muhammad
Ismail Ibrahim, Al-Qur'an wa 1 jazuhu
al-Ummiyin, Dar al-Fikr, Kairo, tt.,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya :) no SARA!