Sabtu, 07 September 2013

ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH


ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.


A.    PENDAHULUAN

Ilmu muhkam dan mutasyabih bisa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih.[1] Tidak sampai di situ saja, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan kita terhadap cabang ilmu ini.  Di antaranya adalah: apakah yang dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih itu sendiri? Megapa masalah ini muncul? Bagaimana pula pendapat ulama tentang ayat-ayat mutasyabih? Bagaimana contoh beserta keterangannya? Dan apa pula hikmah dari diturunkannya ayat mutasyabih?
B. PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH.

Menurut bahasa muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan.[2] Sedangkan mutasyabih berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah yaitu keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena kemiripan di antara keduanya secara konkret maupun abstrak.[3]
Secara istilah, pengertian muhakam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut.   Pertama, muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. Kedua, muhkam adalah ayat yang mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah. Ketiga, muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[4]  Sementara itu Imam as-Suyuthi dalam bukunya yang berjudul Mukhtashar al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an li al- Suyuthi, juga mengemukakan beberapa perbedaan pendapat mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih (secara istilah) ini. Pertama, muhkam ialah ayat yang maksudnya dapat diketahui, baik secara nyata ataupun secara ta'wil, sedang mutasyabih ialah ayat yang hanya diketahui oleh Allah seperti hari kiamat, munculnya dajjal dan potongan huruf-huruf hijaiah di awal surat. Kedua, muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan mutasyabih ialah ayat ayat yang tidak jelas maknanya. Ketiga, muhkam ialah ayat yang hanya mengandung satu pena'wilan dan mutasyabih ialah ayat yang mengandung beberapa kemungkinan pena'wilan. Keempat, muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan mutasyabih ialah yang tidak sempurna pemahamannya kecuali dengan merujuk kepada ayat yang lain. Kelima, muhkam ialah ayat yang tidak dihapuskan dan mutasybih ialah ayat yang sudah dihapuskan.[5]
B.     SEBAB-SEBAB TERJADINYA TASYABUH  
Dengan bahasa yang cukup sederhana, Hasbi ash-Shiddieqy mengungkapkan bahwa yang menyebutkan munculnya tasyabuh adalah firman Allah dalam QS. Al-Imran (3): 7.
 
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Dalam ayat ini telah dinyatakan bahwasanya muhkam adalah imbangan mutasyabih, sebagaimana orang-orang rasikh (mendalam) ilmunya dalam imbangan orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih.[6] Dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai sebab munculnya tasyabuh dalam Al-Qur'an.
C.     PANDANGAN ULAMA MENGENAI AYAT-AYAT MUTASYABIH
Sebelum berbicara tentang pandangan dan sikap ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih, ada baiknya diterangkan pula pandangan mereka terhadap keberadaan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Terhadap hal ini, terdapat tiga pendapat.
Pertama, bahwa Al-Qur'an seluruhnya adalah muhkam, mengingat firman Allah Hud (11): 1
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Kedua, bahwa Al-Qur'an seluruhnya adalah mutasyabih, mengingat firman Allah Az Zumar (39): 23:
 Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.

Ketiga, dan inilah yang paling kuat, menyatakan bahwa Al-Qur'an itu ada yang muhkam dan ada pula yang mutasyabih. Sebab, maksud uhkimat ayatuhu dalam ayat tersebut di atas menjelaskan tentang kesempurnaan Al-Qur'an dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Sedang maksud ayat mutasyabih dalam ayat di atas menerangkan segi kesamaannya dalam kebenaran, kebaikan dan kemu'jizatan.[7]
Tidak ada perselisihan pendapat terhadap makna ayat-ayat muhkam. Namun kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah sendiri.[8]
Lain lagi dengan asy-Syirazi, beliau mengatakan bahwa tak ada sesuatupun dari ayat-ayat Al-Qur'an yang hanya Allah sendiri yang mengetahui maknanya. Para ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firmanNya ini pada ayat 7 surat Ali Imran dalam rangka menguji para ulama. Andaikata mereka tidak mengetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka dengan orang awam.[9]
Sementara itu, al-Raghib al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya ini kepada tiga bagian.
Pertama: Bagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadinya hari kiamat, keluar binatang dari bumi dan sejenisnya.
Kedua: Sebagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadh-lafadh yang ganjil dan hukum-hukum yang sulit.
Ketiga:  Bagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebagian ulama yang rasikh ilmunya dan tidak diketahui oleh sebagian yang lain.[10]
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat mutasyabih dengan ayat-ayat tentang al-asma' dan sifat-sifatNya.[11] Ada dua madzhab dikalangan para ulama yang berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabih tersebut, yaitu:
Pertama, Madzhab Salaf (para ulama di kalangan generasi sahabat Nabi) yang mengimani sifat-sifat yang mutasyabih dan menyerahkan makna dan  pengertiannya kepada Allah.[12] Mereka mensucikan Allah dari makna lahir kalimat-kalimat yang mutasyabih karena makna harfiah demikian itu mustahil bagi Allah. Mereka mengimani sepenuhnya rahasia kandungan firman Allah yang serupa itu, dan mereka menyerahkan hakekat maknanya kepada Allah.
Kedua, Madzhab Khalaf (para ulama di kalangan generasi berikutnya). Mereka menetapkan makna bagi lafadh-lafadh yang menurut lahirnya mustahil bagi Allah dengan pengertian yang layak bagi dzat Allah. [13]

E. AYAT-AYAT MUTASYABIH & KETERANGAN TASYABUHNYA
Pada bagian ini, dapat kami berikan beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih beserta sedikit keterangan terhadap tasyabuh (kesamarannya).
Artinya: "(Allah) Yang Maha Pemurah bersemayam di atas 'Arsy' (QS Thaha [20]: 5).
Kaum Salaf menanggapi ayat di atas dengan mengemukakan sebuah riwayat. Pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang makna istawa (bersemayam). la menjawab: "Lafadh istawa dapat dimengerti, tentang bagaimananya tidak dapat diketahui. Pertanyaan mengenai itu adalah bid'ah. Aku kira ia (orang yang bertanya itu) berniat buruk." Kemudian ia memerintahkan sahabatnya, “Singkirkan dia dariku.”[14]
Ad-Darimi mengemukakan sebuah riwayat, berasal dari Sulaiman ibn Yassar. Bahwa seorang terkenal dengan nama Ibn Shubaigh datang ke Madinah untuk menanyakan ayat-ayat Al-Qur'an yang mutasyabihat. Khalifah Umar ibn Khaththab kemudian memanggilnya dan sambil menunggu kedatangannya ia menyiapkan sebatang tangkai  mayang kurma. Setelah tiba, Khalifah Umar bertanya, "Engkau siapa?". Orang itu menjawab, "Aku Abdullah ibn Shubaigh." tanpa berkata lebih jauh, Khalifah Umar memukul Abdullah dengan tangkai mayang yang sudah disiapkan hingga kepala Abdullah berdarah. Menurut versi lain, setelah itu Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Musa al-'Asy'ary (yang ketika itu menjabat selaku kepala daerah Basrah) memerintahkan agar kaum muslimin jangan boleh bergaul dengan Abdullah ibn Shubaigh.[15]
Dari kedua riwayat di atas, tampak jelas bahwa kaum Salaf tidak menghendaki adanya pemberian makna yang dikita-kira terhadap ayat mutasyabih. Sementara kaum Khalaf sendiri memberikan interpretasi terhadap istawaa (bersemayam) dengan maha berkuasa menciptakan segala sesuatu tanpa susah payah.
Artinya: ”dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris”. (QS Al-Fajr [89]: 22).
Mereka kaum Khalaf mengartikan kedatangan Allah dengan kedatangan perintahNya.
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (QS Al-An'am [6]: 61).
Kata fauqa (di atas) mereka artikan ketinggian yang bukan arah dan jurusan.

 
Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah) (az-Zumar (39): 56. Kata di sisiNya mereka artikan kewajiban terhadapNya.  
Artinya:”dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS Ar-Rahman [55]: 27). Wajah Allah diartikan Dzat Allah

Yaitu: 'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir`aun) musuh-Ku dan musuhnya'. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di atas mataku (QS Thaha [20]: 39). MataKu diartiakan inayahKu (pertolonganKu).
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS Al-Fath [48]: 10). Tangan Allah diartikan kekuatan.
           Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). Artinya:”dan Allah memperingatkan kamu terhadap diriNya.” (QS Ali Imran: 28). Diri-Nya diartikan hukumanNya.[16]

F. HIKMAH AYAT-AYAT MUTASYABIH

Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari adanya ayat-ayat mutasyabih, di antaranya:
  1. Mengharuskan upaya lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga dengan demikian menambah pahala bagi yang berusaha untuk itu.
  2. Seandainya Al-Qur'an seluruhnya muhkam niscaya hanya ada satu madzhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan yang lain, selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut madzhab tidak mau menerima dan memanfaatkannya. Tetapi jika mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari penganut madzhab itu akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka semua penganut madzhab memperhatikan dan memikirkannya. Jika mereka terus menggalinya maka akhirnya ayat-ayat yang muhkam menjadi penafsir bagi ayat-ayat yang mutasyabih.
  3. Apabila Al-Qur'an ada ayat-ayat mutasyabih, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dan yang lainnya, selanjutnya hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, bayan, ushul fiqih dan lain sebagainya. Seandainya tidak demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu tersebut.
  4. Al-Qur'an berisi dakwah kepada orang-orang tertentu dan orang-orang umum. Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu jika mereka mendengar tentang sesuatu yang ada tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak benar, kemudian ia terjerumus kepada ta'thil (peniadaan sifat Allah). Oleh sebab itu sebaiknya mereka diajak bicara dengan bahasa yang menunjukkan kepada orang yang sesuai dengan imajinasi dan khayalnya dan dipadukan dengan kebenaran yang bersifat empirik.[17]

G. RINGKASAN
Ilmu muhkam dan mutasyabih bisa diartikan sebagai cabang ulum Al-Qur'an yang berusaha memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Terhadap pengertian muhkam memang tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Mutasyabih (batasan secara istilah) ternyata mengundang banyak pendapat para ulama. Bahkan Imam Suyuti sendiri berhasil mengimpulkan tidak kurang dari lima komentar yang beliau sendiri tidak menjelaskan siapa yang melontarkannya.
Namun, terlepas dari itu semua, sebagai insan akademik, kita mungkin sedikit bisa berkontemplasi. Mencoba mengkomparasikan dari pendapat yang ada. Tidaklah mustahil akan memunculkan batasan-batasan yang mungkin lebih representatif. Dengan argumentasi-argumentasi yang logis pula, para ulama melontarkan pandangan bahkan sikap yang terkesan diametral dan kontroversial terhadap ayat­-ayat mutasyabih. Hal ini tampak pada sikap ulama Salaf yang cenderung menghindarkan diri dari memberikan ta'wil dan ulama Khalaf yang selalu berusaha memberikan pemaknaan yang sesuai dengan otoritas ke-Maha-an-Nya. Akhirnya, memang Allah tidak pernah berbuat sesuatu yang tanpa maksud dan tujuan. Sungguh Dia (Maha) terhindar dari perkara yang tak lain dari sebuah kesia-siaan. Al-Qur'an diturunkan sebagai peringatan untuk manusia yang beriman. Langit dan bumi beserta yang ada di antara keduanya, diciptakan untuk dimanfaatkan umat manusia. Demikian juga, tak ada pula kesia-siaan Dia mengadakan ayat-ayat mutasyabih ini. Semoga kita tennasuk orang yang selalu berusaha mencari hikmah dibalik yang ada.


DAFTAR PUSTAKA


Manna' Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqeqy, Ilmu-ilmu Al-Qur an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972.
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Pustaka Firdaus, Cet. IV, Jakarta, 1993.
Suyuthi as, Imam, Apa Itu Al-Qur'an, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Suyuthi as,  Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur'an, Darul Fikri, Lebanon, 1979.




[1] M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu Al-Qur'an:  Media-media Pokok dalam Menafsirkan AI-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972, hal.166.
[2] Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur an, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992, hal.302.

[3]Ibid., ha1.303.
[4]Ibid, hal. 305.
[5]Suyuthi as,  Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur'an, Jilid II, Darul Fikri, Lebanon, 1979, hal. 2-3.
  
[6] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op cit,. hal.167.
[7] Imam as-Suyuthi, op cit., hal. 85-86.
[8] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op cit., hal. 168.
[9] Ibid,
[10] Ibid.
[11] Manna' Khalil Qattan, op cit., hal.305.
[12] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Pustaka Firdaus, Cet. Keempat, Jakarta, 1993, hal. 375.

[13]1bid, hal.376.
[14]1bid, hal.375
[15] Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan, II, hal. 8.
[16] Shubh al-Shalih, Op.cit., hal. 377.
[17] Imam al-Suuyuthi, Op.cit., hal. 90-91. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentarnya :) no SARA!